Selasa, 09 Oktober 2012
REALITA KEHIDUPAN SUKU MEE: DIDE WUDI.
Oleh: YULVIN Mote, " MUTOPAI"
A. Pengantar.
Mengutarakan bahan realita kehidupan merupakan berangkat dari pengamatan kenyataan hidup masyarakat secara obyektif spesifik. Perlu mengetahui juga bahwa, bila melihat eksistensi budaya suku Mee maka secara mendasar dapat dikategorikan bukan satu-dua hal saja tetapi masih banyak yang kita perlu melihat, mempelajari lalu membenahi. Agar supaya dapat tercipta suatu kondisi-kondisi bukan bergantung harapan akan tetapi semangat berusaha mempertahankan sesuai iringan perubahan transisi budaya. Kesempatan ini kami akan mengetengahkan realita hidup “dide wudi” sebagai rambu/komando secara sederhana terbatas tidak secara ilmiah terperinci. Gambaran konkrit yang kita bisa menarik intinya adalah perbandingan proyeksi kedepan antara ‘dide wudi’ atau ‘proposal’.
Dalam perbandingan kondisi dulu, kini dan kedepan, mana yang kita prioritaskan antara ‘dide wudi’ dan ‘proposal’. Sekarang kembali kepada kita untuk melihat kembali dan menggagaskan untuk membangun serta mempertahankan nilai-nilai kebersamaan itu. Kami tidak menarik semacam ketegasan dalam bentuk pernyataan atau pertanyaan akan tetapi langsung saja mengajak kepada pribadi kita untuk berpikir kolektif sesuai iringan perubahan sekarang, lalu mencari solusi terbaik.
Sebelum tafsirkan salah satu hal atau kedua hal maka terlebih dahulu perlu mencermati antara kedua hal tersebut. Pemilahan dapat dilakukan secara obyektif atas kedua hal, setelah itu akan lebih efektif untuk melihat ke apa dan yang mana terbaik untuk merangkul kebersamaan itu. Dalam mewujudkan dan membangun wilayah pemerintahan Paniai, rakyat setempat dan pemberdayaan kesejahteraan masyarakat sendiri.
B. Suatu Pandangan.
Merangkul kebersamaan hidup di daerah yang baru berkembang itu tidak segampang membalik telapak tanggan tetapi harus dilandasi melalui budaya masyarakat setempat dan juga tidak boleh berpikir yang besar (ilmiah) cukup berpikir sederhana saja. Kesederhanaan itulah yang akan mengantar dan menciptakan suatu kondisi masyarakat sempurna maka kita sama-sama melirik cara ‘dide wudi’. ‘Dide wudi’ dipandang salah satu cara sederhana yang menyatukan antar pribadi demi membangun kebersamaan sambil mengkristalisasi persaudaraan yang mendasar. Makna tersebut dapat kita saksikan sesuai dengan muatan ‘nota’ didalam noken ‘ute/agiya’. Hal ini merupakan kreatifitas masyarakat terdahulu untuk menciptakan suatu kebersamaan antara sesama masyarakat itu sendiri. Maka dengan demikian, kita bersyukur dan melestarikan serta mempertahankan cara-cara hidup sederhana, didalam menata, membangun kebersamaan dan persaudaraan sambil menyesuaikan, mempelajari segala perubahan pada kondisi ‘transisi’ ini.
Angin proposal yang ditiupkan melalui pemerintah daerah kabupaten itu dapat terbaca membangun kondisi-kondisi yang memanjakan. Pada dasarnya proposal sangat efektif bila membuat patokan pra-syarat yang lengkap, jelas, tegas dan bertanggung jawab. Pemikiran itu pun dapat berpikir ketika membandingkan kondisi terbangun ‘proposalisasi’ dan semua sudah kenal. Kami tidak bermaksud membatasi tetapi, seyogyanya mana yang terbaik agar supaya dapat membuat proposal dengan bunyi sasaran kegiatan yang betul-betul jelas. Jelas dan tidaknya pun bukan persoalan akan tetapi kita sama-sama memilah kondisi bahwa, setelah mengenal cara membuat proposal dan sebelum mengenalnya. Lalu kemudian mana yang mendatangkan keuntungan kepada masyarakat dan juga kepada pemerintah daerah kabupaten kedepan.
Boleh terapkan konsep atau strategi baru, asal tidak boleh lepas, lupakan begitu saja tentang apa yang kita punya. Sekali lagi tansisi budaya suku Mee merupakan perubahan perbuatan manusia Mee itu sendiri dengan cara, sikap, kelakuan kita untuk menerima dan menerapkannya. Budaya suku Mee dapat dikategorikan sebagai kombinasi statis progresif dan dinamis progresif, maka dapat kembali kepada pemerintah daerah dan masyarakat setempat.
Dikatakan pemerintah daerah, perlu diketahui bahwa terbentuknya pemerintahan daerah karena adanya wilayah, rakyat yang berbudaya, adat, bahasa serta latar belakang dan cara-cara hidup nya yang khas. Pada prinsipnya pemerintah daerah harus bersyukur atas potensi yang ada untuk berprinsip membangun segala aspek sambil menyesuaikan segala kelebihan dan kelemahan yang ada. Proteksi harus menyesuaikan dengan kondisi geografis, ekonomis, berpolitik, demokrasi, yang masyarakat secara adat miliki.
Disini dapat mempertegas secara sederhana saja (bukan secara ilmiah) bahwa, Apakah dalam kondisi yang tidak menentu ini perlu melihat kembali potensi yang kita miliki ataukah malas tahu sebab itu kuno? Bila memandang kuno, dengan dasar pemikiran apa dikatakan kuno lalu konsep apa yang anda/saya terapkannya? Dengan cara bagaimana kita memulai untuk membangun kebersamaan diatas pondasi budaya kita demi kembangkan segala kreatifitas masyarakat didalam wilayah pemerintahan yang sedang ‘transisi’?
C. Mari berpikir dari diri.
Pada bagian ini kami mengajak untuk melihat pada diri ‘aniki mei me atau akiki mei me’ ‘saya siapa sebenarnya dan kamu siapa’. Hal ini penulis tidak bermaksud untuk mangajak berpikir ‘urusanmu itu bukan urusanku dan sebaliknya tetapi mengajak mari melihat dirimu terlebih dahulu lalu melihat diri sesamamu yang lain. Berarti mewujudkan nilai kebersamaan itu akan nampak dan keharmonisan akan tumbuh ditengah-tengah kita. Mulai berpikir dari apa yang ada pada diri saya dan apa yang ada pada diri masyarakatku/mu lalu dapat berpikir secara global. Diketahui juga bahwa, berpikir untuk diri bukan berarti membatasi semata-mata pada dirinya saja akan tetapi berpikiran untuk menglobal sambil memihak terhadap masyarakat, lingkungan sekitar, serta segala atribut yang kita miliki secara adat. Segala atribut, bisa membedakan bahwa hal apa-apa saja yang bisa pertahankan nilai-nilai kekhasan dan hal-hal apa saja yang perlu di rekonstruksi kembali sambil menyesuaikan dengan perkembangan kini.
Perkembangan kini, pemerintah daerah mengarahkan masyarakat tanpa melihat usaha kegiatan mereka secara jelas tetapi mendesak kamu harus buat proposal nanti kami (pemerintah bantu dana) berarti itu sama saja memanjakan sekaligus mematikan kreatifitas masyarakatnya sendiri. Kemudian masyarakat lupakan segala kelebihan (bugi tai dimi, ekina muni dimi, koya owapa miyou ga kiya ke dimi gai dimi, eda wagi dimi, dll) yang dimiliki dari sejak moyang orang Mee. Akhirnya kebiasaan turun-temurun dari generasi ke generasi untuk hidup bertahan melalui usaha berkebun, beternah, dalam masyarakat (suku Mee) akan hilangkan dengan sendirinya. Apakah kita salahkan kehadiran pemerintahan atau masuknya agama, ataukah orang-orang yang nota bene putra daerah yang duduk didalam?. Penulis tidak memancing untuk menciptakan pemisahan antar pemerintah dan masyarakat tetapi, sengaja utarakan untuk melihat dan mencari solusi yang cocok sesuai dengan kondisi wilayah, masyarakat sambil mengedepan nilai-nilai, norma-norma yang kita miliki.
Sebelumnya terbangun pemikiran dikalangan masyarakat, kehadiran kabupaten berarti penyelamat hidup kami, jadi untuk apa saya kerja cape-cape keluar keringat. Kabupaten ada berarti tugas saya adalah harus buat proposal muda toh kenapa pikir susah kerja diatas kertas koh. Kondisi sudah terbangun seperti ini berarti kita salahkan siapa? apakah para orang yang munculkan ide pemekaran kabupaten ataukah para pejabat didaerah. Kalau berpikir secara murni, arif, bijaksana, terbentuk kabupaten administratif Paniai bersamaan dengan beberapa kabupaten tetangga lainnya waktu itu merupakan solusi membuka daerah terisolasi. Maka dengan ini, pencapaian terbentuknya kabupaten Paniai dapat disambut dengan sikap terbuka oleh seluruh komponen masyarakat Paniai akan tetapi sikap masyarakat belakangan terlihat berubah menjadi tertutup ragu. Keterbukaan dan kepolosan mereka pihak pemerintah daerah Paniai tidak jelih melihatnya untuk mengkonstruksikan kedepan, sesuai “Paniai Aweta Ena Agapida”.
Keraguan yang dialami oleh masyarakat itu bisa dilihat dari sikap pemerintah daerah yang sudah menjauhi dari kenyataan hidup masyarakat suku Mee dan suku lain yang ada di wilayah kabupaten Paniai. Lebih jelasnya, pemerintah tidak membuka diri untuk melihat kelebihan dan kelemahan yang ada didalam masyarakat itu apa saja lalu mensikapi sambil mencari solusi.
Penghayatan hidup yang dialami masyarakat suku Mee dan beberapa suku di Papua dapat diukur dengan eksistensi dan realita hidup yang dimilkinya. Lalu dapat menyatuh dengan apa yang kita miliki seperti “DIDE WUDII”. Dalam praktek dide wudii atau pembagian porsi atau bagian untuk menjalani kenyataan hidup didalam pemerintahan dan masyarakat harus diandalkan sesuai prinsip-prinsip atau norma-norma yang dimilikinya. Jangan dianggap kuno atau primitif bila menerapkan prinsip/norma adat dalam masing-masing suku (khusus suku Mee). Zaman yang tidak menentu harus berpijak atas aspek produktif untuk berpikir sikap produktif dengan kondisi kini. Jangan serong dari peluang strategi untuk menghidupkan cara kita dide wudii yang dipandang paling pas/cocok bila menerapkan pada zaman sekarang.
Realitas hidup suku Mee dalam bentuk “dide wudii” atau membagi porsi tanpa dikurangi atau melebih dari porsi yang ada merupakan realisasi dari wujud keadilan, kebersamaan, persaudaraan, kekeluargaan dll. Bila ada keberpihakan kita untuk realisasikan nilai-nilai atau norma-norma adat yang mendatangkan manfaat akomodatif suku Mee sendiri harus diterapkan dari kalngan pemerintahan lalu ttutunkan ke masyarkat. Misalnya, berarti dapat berpegang teguh pada nilai-nilai untuk memupuk kebersamaan komunal sambil mewujudkan “dide wudii” itu sendiri dalam berbagai hal.
D. Wujud Kebersamaan.
Pada bagian itu penulis tidak menganalisis secara ilmiah sebagaimana seperti biasanya para ilmuwan. Tetapi nilai kebersamaan yang kita simak secara sederhana tetapi seksama adalah: wujud kebersamaan biasa-biasa saja ‘dide wudi’ tetapi punya makna mendalam melalui simbol noken kecil ‘Ute/agiya’ yang selalu isi ubi ‘nota’. Masyarakat suku Mee kalau mau ke kebun pertama pikirkan itu, ‘ute/agiya’ kedua alat gali ‘wadi’ lalu kemudian gali ubi ‘nota ubai’ dikebunnya sendiri. Selesai gali bersihkan ubinya lalu kemudian diisi dalam ‘ute/agiya’. Nota yang banyak itu dapat disatukan dalam ‘ute/agiya’ lalu membawa pulang kerumah. Diketahui bahwa dirumah ada tamu tetapi itu bukan persoalan bagi tuan rumah namun berpikir untuk membagi rasa melalui hasil keringatnya itu. Terlihat merasa puas dengan hasil kebun dirasakan saat membagikan nota yang sudah diisi dalam ‘ute’. Tuan rumah memiliki rasa tanggung jawab untuk membagikan nota itu agar semuanya mendapatkan bagian yang sama tanpa kekurangan. Tanpa mengalami kekurangan disitulah dapat terlihat kepuasan secara bersama-sama dan juga terbangun rasa kebersamaan dan kekeluargaan secara langsung maupun tak langsung.
Penulis tidak mengutarakan secara lengkap tetapi ini untuk sekedar ketahui. Sekarang giliran untuk pemerintah dan masyarakat di Paniai. Apakah pemerintah Paniai dapat membagi porsi pembangunan itu secara baik dan benar untuk mencapai suatu pemberdayaan dan kesejateraan masyarakatnya sendiri untuk mencapai harapan enai mo ani gou/aweta ena agapida? Lalu kini posisi masyarakat Paniai sudah dimana? Apakah ada dampak negatif dan positif istilah ‘dide wudii’ dan ‘proposal’ dalam menjalankan tupoksi pemerintah Paniai, ditengah masyarakat yang tahu adat?
Dalam kenyataan hidup suku Mee, bisa melihat kembali sebagai patokan dengan istilah “DideWudi”. Dide wudi adalah membagi porsi atau bagian secara merata antara satu dengan yang lain tanpa ada praktek monopoli baik itu antara kaya (tonowi) atau miskin (daba) akan tetapi memperoleh hak yang sama dalam peraktek dide wudi. Contoh riil yang terjadi didalam masyarakat suku Mee (suku-suku lain di Papua) dalam membangun kebersamaan komunal masyarakat baik intern-suku maupun ekstern-suku. Melalui beberapa orang atau satu dua orang dapat menyatakan wujud nyata “dide wudi”. Sebab mereka mengambil hasil kebun yang mereka punya, lalu isi didalam noken kecil “ute” setelah itu dapat menggumpulkan menjadi satu. Kemudian setelah itu hasilnya dapat membagikan kepada sesama yang lain secara tulus.
Dide wudi ini, dikenal secara turun-temurun dari sejak moyang masyarakat suku Mee melalui terjadi kontak batin antara satu dengan lain untuk mencapai kepuasan/kenyang dari lapar. Realisasinya tanpa memandang kedudukan baik orang kaya (tonowi) dan orang miskin (daba bage), rumah berdampingan untuk jadi pembantu dalam kerja-kerja harian orang kaya. Rumah laki-laki (ema owa/yamewa) ditengah-tengah rumah kaum hawa atau istri-istri (kewita/dagu), maka itu segala perhatian untuk membagi porsi atau bagian sesuai peruntukan tidak datang dari salah satu saja tetapi dari semua wanita.
Wujud kasih, “dide wudi” melalui sumbangan bagian nota-ubi yang diantar ke rumah laki-laki. Terjadi tanpa ada unsur paksaan dari siapapun seperti biasanya kalau waktunya tepat dapat membagi namun terlebih dahulu mengetahui jumlah orang yang ada dirumah laki-laki (yamewa) melalui anak-anaknya. Untuk mengetahui berapa orang yang ada didalamnya agar nantinya tidak mengalami kekurangan. Wujud kasih yang terjadi dapat terlihat dan terasa sekali ketika kantong (noken kecil-agiya ute) diisi dengan ubi (nota) lalu mengantarkan ke rumah laki-laki. Bentuk kasih yang datang dari rumah wanita (kewita) bukan suatu hal yang baru tetapi cara hidup mengasihi yang sudah tumbuh sejak jaman moyang orang Mee.
Kini sudah jarang terlihat tetapi masih ada praktek saling membangi bagian saya kepada sesama saya yang lain secara spontan (kini terlihat tidak sistematis seperti dulu) didalam masyarakt suku Mee dan sebaliknya kepada suku-suku lain.
1. Dasar “Dide Wudi”.
Mengetahui mengenai pendekatan kebutuhan dasar “dide wudi” berarti manusia tumbuh dari usaha pencarian suatu strategi pembagunan yang bisa lebih efektif dalam menangani persoalan yang dialami masyarakat untuk mewujudkan pembangunan itu sendiri sesuai peruntukan, perencanaan program demi mencapai target pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat.
Mencapai kebutuhan mendasarkan secara maksimal seharusnya Paniai harus memiliki strategi dan target program sesuai norma-norma, prinsip-prinsip, nilai-nilai adat. Namun selamai ini dari sejak terbentuknya kabupaten Paniai 1996 ibukotanya Enarotali, tidak jelas agenda program pembangunannya. Biarpun ada program pembangunan akan tetapi sasaran yang hendak dicapainya tidak jelas, seharusnya strategi demikian itu mampu membalikkan kecenderungan ketidakmerataan yang semakin meningkat dalam masyaraakat yang sedang berkembang.
Menatap kondisi keberadaan pemerintah Paniai dimasa transisi ini seyogyanya menghidupkan cara hidup sederhana yang sudah kenal, menyatu dengan masyarakat suku Mee agar bisa menikmati kesejahteraan dan mencapai kemakmuran rakyat secara adil merata. Untuk menujuh pemberdayaan kesejahteraan masyarakat yang adil dan makmur atas prinsip “enaimo ekowai, enaimo ani gou tiya ke, umi tou tai” artinya bekerja bersama, membangun bersama, untuk menciptakan suasana hidup bersama.
Untuk mencapai prinsip “enaimo ekowai, enaimo ani gou tiya ke, umi tou tai”, bila memahami arti kata seperti ini, akan kembali pada pembagian porsi sesuai peruntukan sasaran yang ada. Porsi yang dikenal ada biaya anggaran-anggaran pemerintah daerah, operasionalnya melalui instansi terkait maka berupaya untuk merealisasi berdasarkan sasaran program kerja tanpa menghambat atau mempengaruhinya harus ada garis komando (kontrol secara jelas, tegas dan bijaksana) atas kewibawaan sebagai pimpinan.
‘Dide wudi’ kita pahami bahwa pembagian porsi yang dapat melalui pemerintahan daerah kabupaten/kota, atau lewat orang-orang kepercayaan masyarakat harus bersifat humanis dalam menata, membenahi segala persoalan porsi ‘dide’ yang ada didalamnya. Lalu kemudian akan membangun kebersamaan, kekeluargaan untuk menata dan membangun kebersamaan atas wilayahnya. Istilahnya saling bahu-membahu asal membedakan porsi-porsi (dide) secara jelas, agar dalam penafsiran pembangunan kedepan pun dapat terlaksana tanpa ada hambatan diantara konsep dan program operasional didaerah.
Dalam tulisan singkat ini kami mencoba mengutarakan gambaran sederhana dan tentu saja mungkin tidak sepadan dengan pelaku pengambil kebijakan pembagunan didaerah. Kami berkeyakinan bahwa untuk membangun suatu wilayah itu gampang-gampang sulit (tidak muda membalik telapak tangan kita) sebab disana kita akan menghadapi dengan berbagai macam persoalan. Persoalan tersebut, baik yang sudah ada dan persoalan yang baru ada setelah pemerintah kabupaten itu terbentuk. Maka dengan demikian kami mencobah menggambarkan dalam bentuk sederhana untuk lebih jelas koordinasi pengawasan kerja secara top doun dari atas (Bupati) maupun bottom up dari bawah (kabag sebagai bawahan dan masyarakat sebagai pemacu proses pembangunan), seperti berikut:
Ti Pek,03
Setelah mencermati gambaran sederhana diatas maka perlu memikirkan tentang pendekataan kebutuhan pokok masyarakat yang mendasar. Perlu menyadari juga bahwa kita belum terlambat untuk merubah dan memulai kebijakan tegas untuk menentukan kedepan “hendak membawah kemana”, apakah kita berhenti, memusuhi antara kita, ataukah sama-sama tentukan“ belum terlambat mari menatap untuk membangun Paniai. Setelah memahami kondisi masyarakat sekitar lalu mencari solusi pemecahan persoalan yang ada. Salah satu solusi melihat dan memecahkan persoalan adalah “dide wudi” sebab tantangan langsung dan tak langsung dalam kesejahteraan masyarakat sudah menghantui dengan segala usaha pintas.
Dengan demikian memenuhi kebutuhan masyarakat disegala sektor kehidupan, jangan berfikir menghayal sampai ke kota metropolitan tetapi harus melihat dari perut masyarakatmu yang sedang lapar lalu keluar. Gambaran pemikiran secara alami perlu hidupkan kembali dalam kondisi kini yang serba sulit menujuh kesejahteraan dengan motto yang indah mendalam diatas kertas itu.
Berarti saatnya untuk kembali merenung pengalaman hendak membawah kemana pemerintahan serta rakyatnya yang ada didalam. Kita sebagai sesama manusia yang sama tanpa merendahkan antara kita maka merekapun secara terbuka bisa menginstrospeksi diri sebagai pemimpin putra daerah. Hal seperti ini dari kita untuk masyarakat kita maka mari melihat secara mendalam memimpin pemerintahan, dimana memiliki kekuatan kekuasaan atas wilayahnya serta masyarakatnya disegala aspek kehidupan yang ada didalam struktur kepemerintahan secara lembaga pemerintah, lalu kemudian komparasikan kedalam kondisi daerah setempatnya.
2. Dasar Proposal.
Disini tidak memberikan ketegasan dasar proposal, akan tetapi sekedar pandangan agar bisa mengetahui untuk jadi bahan merenung. Secara jujur, proposal yang kini dikenal seluruh komponen lapisan masyarakat ini mengundang pertanyaan. Proposal itu apa sebenarnya? Dengan adanya istilah proposal kini, apakah ada jaminan hidup lebih baik atau tidak?
Proposal, jelas tulisan diatas kertas yang mengutarakan berdasarkan keinginan, kebutuhannya yang membutuhkan. Yang jelas perincian biaya barang-barang lalu tutup dengan bunyi jumlah total rupiah. Ironisnya, orang sibukan diri dengan proposal lupa segalanya baik itu berkebun, beternak, berpikir untuk membuat pagar, menanam kopi dan lain-lain. Angin proposal, bunyinya sangat menarik namun kenyataannya tidak jelas, merupakan pelajaran buat pemerintah untuk mencari solusi. Salah satu solusi harus ada pengawas melalui instansi terkait yang selalu siap turun ke lokasi untuk mengecek langsung, sambil memberikan penyuluhan atau dalam bentuk lain. Setelah melihat hasil lalu membantu sesuai permintaan yang diutarakan dalam proposal tersebut.
Ide untuk menyarankan buat proposal ini sangat bagus, apabila itu menunjang segala kreatifitas masyarakat yang ada. Kondisi nyata, justru karena proposal mematikan segala kreatifitas yang sudah ada karena segala harapan fokuskan pada proposalnya. Jadi istilah “berkebun, berternak” berubah jadi “proposal” dan disitu tidak akan terbangun, daya kreasi hidup membuat rumah, kebun, berternak, pun dilupakan begitu saja.Jadi kasarnya akan tumbuh pemikiran/anggapan gampang.
Proposal tersebut ini, tidak memancing pemisahan berpendapat akan tetapi menyatukan persepsi lalu melihat segala eksistensi manusia itu sendiri. Agar supaya, eksistensi manusia itu dapat dipertahankan dengan segala kreasi, hidup aman, bersama, kekeluargaan, demokratis, tanpa bergantung kayak “kepeigo” dalam menjalani hidup. Jadi intinya, usaha yang dapat mengeluarkan keringat dapat bermanfaat ketimbang usaha yang berpikir kertas dan alat tulis.
3. Melalui Eba mukai.
Eba mukai tidak langsung lakukan tetapi, terlebih dahulu dapat mengutarakan alternatif-alternatif melalui orang yang memahami persoalan. Lalu kemudian mencari solusi penyelesaian melalui eba mukai. Cara hidup ‘eba mukai’ dapat terlihat ketika pada saat-saat tertentu. Dimana saat tertentu yang dapat mengahadapi persoalan-persoalan. Persoalannya, yakni membayar mas kawin, menyelesaikan perkara, membiayai anak sekolah, dan lain-lain. Cara pelaksanaannya dapat menyumbangkan uang (mege) berapapun diatas ‘eba’ yang ditebarkan diatas tanah.
Praktek ‘ebamukai’ dapat hidupkan saat apapuan untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi dalam masyarakat. Jadi eba mukai dapat terlihat, secara spontan menggerakkan hati kepada orang-orang yang ada disekitar untuk menyumbangkan. Sumbangan yang disumbang dinillai berharga sebab menyelesaikan persoalan. Dan juga cara ‘eba mukai’ dapat mempererat hubungan kebersamaan dan kekompakan dalam kehidupan bermasyarakat secara mandiri.
4. Berkebun bersama ( Bugitai akado ).
Pertama sebelum mengetahui kebutuhan pangan terlebih dahulu harus mengetahui keberadaan masyarakat suku Mee. Keberadaan suku Mee secara geografis dapat diapit oleh beberapa gunung, lembah dan danau yang mendatangkan manfaat lipat ganda dalam mencukupi kebutuhan pangan. Dengan cara berkebun dan beternak babi. Pemenuhan kebutuhan (hidup) pangan masyarakaat suku Mee, dapat terlihat ketika menyatuh dengan alam melalui cara membuat pagar, bersihkan ladang, membakar pada bagian-bagian yang sudah dibersihkan, lalu mulai tanam ubi, keladi, sayur, pisang, dan lain-lain ditanami sesuai kebutuhannya. Akhirnya terbentuk suatu ladang atau kebun, maka pemilik harus menjaga dan merawat dengan penuh tanggung-jawab sampai mengambil (panen) hasil kebunnya. Dalam memenuhi dan mempertahankan hidupnya pun mereka harus berusaha untuk mengeluarkan keringat. Keringat yang disita tidak sia-sia begitu saja tetapi bisa diukur juga dengan produksi yang setimpal melalui hasil panen kebunnya.
Jadi perlu mengetahui bahwa kebutuhan pangan yang dikenal masyarakat suku Mee melalui cara bercocok tanam bukan hal yang baru. Sudah lama mengenal cara hidup berladang atau berkebun permanen dilahan-lahan yang memproduksi hasilnya sesuai pemenuhan kebutuhan masyarakat. Dalam memenuhi kebutuhan pangan ini, tidak dibatasi bagi mereka pemilik saja akan tetapi hasilnya dapat dinikmati bersama dengan tetangga masyarakat yang lain.
Lalu setelah terbentuknya kabupaten Paniai masyarakat adat maka upaya apa yang dilakukan oleh pemerintah terhadap masyarakat guna untuk memenuhi kebutuhan pangan? Apakah ada upaya lain dari pemerintah untuk membangkitkan semangat kreatifitas masyarakat untuk berkebun, beternak, dan lai-lain?
5. Beternak (muniya agiyo)
Kreasi untuk mempertahankan dan mengembangkan peternakan babi dapat dihidupkan sebaiknya. Kalau tidak apa yang terjadi, kehidupan masyarakat adat setempat tidak bertahan hidup permanent atas usahanya. Masyarakat Mee dapat menampilkan kebolehannya melalui usaha beternak babi, sebab dengan usaha ternak babi bisa mendatangkan harta. Dan juga membangun relasi antara lingkup keluarga atau sahabat melalui, iyobai, mune, pekanapo, dan lain-lain.
Dengan melalui adanya ternak itu, membuat orang Mee tidak bisa kemana-mana dengan perhitungan bahwa kalau saya pergi nanti siapa yang memperhatikan ternak saya. Dan juga membentuk komitmen diri atas ternak. Biasa saja titipkan ke orang lain tetapi sering muncul perasaan bahwa kalau saya tidak memperhatikan berarti nanti tidak sehat.
6. Ekonomi ( Edepede )
Kebutuhan ekonomi (edepede tiya doba) yang dikembangkan pemerintah daerah, tidak lain mencapai kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Pada kesempatan ini, penulis mempertegas sampai dimana kredibilitas pengambil kebijakan didaerah untuk mencapai sasaran kesejahteraan secara merata. Kita belum terlambat untuk memulai kembali sambil merefleksikan diri, apakah selama ini betul-betul memperhatikan kesejahteraan masyarakat atau sebaliknya kesejahteraan pribadi, keluarga dll.
Kebutuhan ekonomi masyarakat merupakan hal mendasar untuk penentu kehidupan masyarakat kedepan. Mencapai target kesejahteraan dan pemberdayaan untuk menempu hidup yang diidealkan harus memulai dari penguatan basis-basis kreatifitas masyarakat setempat. Sambil mengenal kelebihan dan kelemahan yang mereka miliki untuk kembangkan kreatifitas usaha masyarakat setempat.
Dulu dalam suku Mee dapat mengenal “duwa uwii/jawi” dalam rangka mencari kulit bia/siput untuk menambah kebutuhan ekonomi keluarga. Tampat yang menjadi sasaran cari kulit bia/siput di pantai selatan dan pantai teluk cenderawasi. Saat mereka tinggalkan rumah orang rumah selalu menjaga kebersaman agar dalam perjalanan suami bisa sukses. Ujud kebersamaan yang istri pegang adalah tidak boleh bersihkan keluar kotoran yang ada didalam rumah sebelum suami kembali kerumah.
7. Bermusyawara dan Berdemokrasi (enaimo, ena mana wegai).
Bermusyawara dan berdemokrasi yang dibangun masyarakat suku Mee, bukan hal baru tetapi sudah kenal ada cukup lama. Bermusyawara dapat terjadi kapan saja untuk mencapai kesepakatan bersama. Bermusyawara yang diandalkan orang Mee tidak muda dan tidak singkat pula, sebab dalam bermusyawara harus mengutarakan segala alternatif, baik itu kaya-miskin demi untuk mencapai sasaran dan kesimpulan yang memuaskan. Mengandalkan saling mendengarkan untuk memahami makna yang diutarakan, kalau tertarik dan menyentuh sasaran, dipandangan pendengar maka minta diulang-ulang sekali lagi karena “berbobot” mana enano enama weegai.
Berdemokrasi yang dibangun dalam budaya suku Mee, dapat terlihat ketika terjadi demokrasi merakyat untuk menampung segala masukan-masuk. Demokrasi merakyat dalam suku Mee dapat mengutarakan segala bahasa, pandangan, gagasan, lalu menghimpun segala masukan-masukan tadi. Kelebihan yang ada, saling mendengar “dengar pendapat” dari berbagai lapisan, baik itu suara dari orang kaya, orang miskin, orang yang hidup sederhana, perempuan, tanpa memandang kelas, prinsipnya untuk mencapai hidup berdemokrasi.
Bila memahami pemikiran simpel bermakna diatas ini, kini kembali kepada pelaku pengambil kebijakan pembangunan dikabupaten Paniai. Apakah bermusyawara dan berdemokrasi budaya suku Mee itu masih hidup atau tidak? Bila dipandang tidak, solusi apa yang dipakai pemerintah daerah selaku penggerak pembangunan kabupaten Paniai ini? Kalau demikian proteksi apa yang diterapkan pemerintah daerah agar “musyawara dan demokrasi” itu terbangun antara pemerintah dan masyarakat (keterlibatan semua lapisan masyarakat)? Demi mencapai program pembangunan yang direncanakan oleh pemerintah daerah harus melalui keterlitabatan masyarakat didaerah, jangan sepihak semata.
Pertanyaan diatas, dapat dijawab sesuai “karya nyata” bukan diminta jawab diatas “kertas” untuk diucapkan sebatas “kata-kata”. Sebab dalam masyarakat “berbudaya” selalu menyesuaikan dengan apa yang mereka miliki dan apa yang dilakukan sesuai “perbuatan karya nyata”. Itupun kalau keluar dari nilai budaya yang menunjang bagi mereka berarti dapat dipahami bahwa transisi budaya suku Mee itu betul-betul terjadi.
Tolok ukur yang menjadi dasar dalam membenahi segala kelemahan dan kelebihan, harus melalui bermusyawara dan berdemokrasi. Tanpa musyawara dan berdemokrasi atas segala fenomena yang terjadi disekitar kita berarti diambang perpecahan atas harta budaya suku Mee itu sendiri.
8. Konstruksi Rumah ( Owaa migi ).
Kemandirian masyarakat suku Mee dapat dilihat eksistensi membangun rumah ditempat-tempat moyang mereka. Sebagai warisan dapat dipilah secara jelas melalui marga/klen (tuma pepe) untuk mengakui status tanah (owa komouda) dan rumah yang ada diatasnya. Oleh karena itu, perumahan masyarakat suku Mee tidak seperti pembangunan program pemerintah yang terlihat seragam teratur. Kini sepertinya memandang rumah adat orang Mee tidak sesuai dan dipandang primitif. Seyogyanya, harus ada upaya produktif pengembangan rumah semi-modern dengan motif rumah adat orang Mee, kalau tidak berpikir kesana berarti tinggal tunggu kenangan.
Secara terbuka dapat mengakui perumahan permanen masyarakat suku Mee dikenal dan dibangun secara alami dengan hasil alam setempat tanpa mengeluarkan biaya yang cukup mahal untuk mendatangkan bahan dari luar, seperti paku, semen, daun sent, gergaji dan lain-lain. Rumah adat dan rumah bentuk baru dapat diukur sesuai fungsi lama-cepatnya bertahan, membandingkan rumah yang dibuat secara alami (adat suku Mee) dan rumah motif inovatif dapat terlihat perbandingannya dari bentuk fisik cepat-lamanya bertahan.
Melalui bidang teknis dinas pekerjaan umum atau kimpraswil seyogyanya mengembangkan perumahan rakyat yang merakyat sesuai kondisi alam setempat. Jangan asal dengan melihat bunyi anggaran proyek besar akhirnya menggelabui istilahnya kejar proyek. Jadi program pembangunan secara lokal ada maupun baru datang dari luar pada prinsipnya harus mempelajari kondisi alam terlebih dahulu sebelum memulai dan merencanakan program pembangunan. Kemudian bisa memperkirakan sambil memperhitungkan untung-rugi yang akan mengalami dalam proses pembangunan transisi yang dialami oleh masyarakat suku Mee jadi jangan asal.
Kalau tidak menghargai eksistensi keberadaan masyarakat suku Mee dengan rumah permanent layak tinggal seperti asal bangun tidak berumur berarti masyarakat suku Mee itu dikategorikan jadi apa atau dibuang kemana?
9. Pendidikan (Topiya/akatope`).
Pendidikan yang dikenal masyarakat suku Mee adalah pendidikan informal dan pendidikan formal. Pendidikan informal dalam suku Mee sudah kenal sejak lama melalui, cara membuat panah, cara membuat noken, cara beternak, buat kebun, dll. Pendidikan formal dapat mengenal sejak pengaruh luar masuk di wilayah Paniai.
Pendidikan formal sebagai penentu maju-mundurnya perkembangan mutu kualitas sumber daya manusia lalu kemudian mengisi menjadi penggerak estafet pembangunan bangsanya. Sebab, pendidikan formal yang ditempuh secara sistematis adalah bekal untuk membangun kondisi masyarakat yang dulunya dipandang tertinggal menjadi maju melalui putra-putrinya yang sudah, sedang dan akan sekolah itu.
Pendidikan Informal yang sudah kenal oleh masyarakat adalah cara pendidikan yang sudah ada (alami yang masyarakat kenal/miliki) sebelum adanya kontak pengaruh luar dan dapat dijadikan dasar atau pondasi untuk petahankan sambil menyesuaikan dengan perkembangan pendidikan formal yang kita kenal sekarang.
E. Penutup.
Penutup bukan berarti mengakhiri segala gagasan tersebut itu sempurna dan terjawab akan tetapi diatas ini belum mendasar apalagi menyentu, tetapi penulis berkeyakinan bahwa saudara dan saya kita bisa membenahi tanpa menilai-nilai. Gagasan sederhana diatas merupakan rambu-rambu awal dan sebagai tahap awal untuk kita berpikir mengoreksi kemudian rekonstruksikan sesuai dengan yang sebenarnya. Pada kesempatan ini pun saya tidak bersifat tegas atas pandangan gagasan tersebut sebab ketegasan ada disaudara dan saya untuk menata dan membenahi sesuai perubahan transisi yang terjadi, kondisi dinamis mengajak untuk memilah yang bermanfaat dan merugikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar