Kamis, 25 Mei 2017

Sejarah Peradaban Orang Koteka di Wilayah Paniai

Sejarah Peradaban Orang Koteka di Wilayah Paniai

Auki Tekege/fmaddmmselatan
Disini yang akan diangkat adalah sejarah hidup sosok Auki Tekege yang dengan gigih telah membawah masuk agama Kristen di Paniai dengan damai. Auki sebagai salah satu tokoh diantara sekian banyak tokoh yang telah membuka pagar Allah yang dibuat secara bertahap di tanah Papua dengan dorongan roh kudus. Tokoh-tokoh yang tercatat dalam sejarah pembukaan pagar Allah di tanah Papua ialah Ottouw dan Geisller di Mansinam Manokwari (Papua Utara) pada tahun 1855,Ardmanville d’cock di Kokonao (Papua Selatan)  pada tahun 1902, Auki Tekege (1932-1934) dan seterusnya.

Pada zaman simbiotik, banyak orang dari timur mengembara ke bagian barat pegunungan pusat. Salah satu marga yang pindah dari sekitar danau Tage ke Mapia adalah marga Tekege. Adalah Obasso Tekege, adik bungsu dari tiga bersaudara melarikan diri dari Tage (dimiya) ke Mapia karena bagian daging burung yang diinginkannya tidak diberikan oleh kedua kakaknya sehingga Obasso mengembara ke Tigi, pindah lagi ke Idadagi masuk daerah Mapia, menetap di Maymapa dan tidak lama kemudian pindah ke Modio. Keturunan Obasso sebagai berikut; Dodota, Menani, Wateisa, Mootoo, Memaha, Beneika, Siwaika, Bidahai dan Bedoubainawi (dikenal Auki).
Disebut Bedoubainawi karena semasa muda, Bedoubainawi mempunyai hoby berburu burung (Bedo = burung, ubai = cari, nawi = jalan). Sehingga ia sudah mengoleksi berbagai jenis burung. Sebagian besar dari burung yang dikoleksi adalah burung Cenderawasih. Bedoubainawi rupanya mempunyai maksud tertentu dibalik kegiatan koleksi burung Cenderawasih. Ia sering kali berjanji kepada masyarakatnya bahwa pada suatu saat ia akan menghadirkan Ogai-pii (dunia modern). Menginjak usia dewasa, Bedoubainawi mulai berburu keluar daerah Modio. Daerah yang sering dilalui adalah daerah Isago-doko (diantara Mapia dengan Kokonao). Di Isago ia berkenalan dengan seorang pemuda bernama Ikoko Nokuwo. Sering mereka berdua berjualan hasil bumi kepada orang-orang Kamoro (pantai selatan), dan diganti dengan kulit bia (mege = alat pembayaran), sambil latihan bahasa Kamoro. Kepala suku Kamoro dengan kepala perangnya sangat dikenal baik. Hari demi hari mereka dua mulai belajar bahasa Kamoro dan akhirnya menjadi fasih.
Bedoubainawi sudah lupa lagi dengan kampung kelahirannya di Modio. Namun pada suatu saat ia kembali ke kampung Modio tanpa membawah sesuatu apapun. Kedatangannya tidak disenangi masyarakat Modio yang ditinggalkan bertahun-tahun. Orang-orang Modio bertanya kepada Bedoubainawi “dimana ogaipii yang dari dulu kamu janji?“. Akhirnya masyarakat Modio memanggil TAPEHAUGI yang artinya orang yang tidak beruntung. Pada waktu itu hampir seluruh daerah Mapia terjadi perang. Perang itu terjadi antar klan/marga dan kampung akibat pencurian, perzinahan yang berbuntut pada pembunuhan yang sifatnya melanggar hukum Tota Mana. Sistem sangsi hukum pun tidak berlaku, hanya nyawa ganti nyawa. Dengan kata lain kebenaran-kebenaran itu semakin hilang.
Tapehaugi hampir setiap hari berpikir, bagaimana caranya sehingga masyarakat bisa hidup aman, damai dan rukun berdasarkan ajaran-ajaran Kabo mana dan Tota mana. Pada suatu hari Tapehaugi memutuskan pergi mengunjungi rekannya Ikoko Nokuwo di daerah Isago[1]. Awal tahun 1930 Tapehaugi bersama istrinya Kesaimaga Gobay mulai berjalan menuju pantai selatan. Selama satu minggu mereka berjalan dari Modio bermalam di Mokobike, Boubaga, Dikitinai hingga di kampung Bidau. Dikampung Bidau ia bertemu Ikoko Nokuwo dan masyarakatnya bermarga Gabou-Kahame. Dari Bidau mereka menuju Wagikunu. Esoknya mereka menuju kampung Dowudi dan malam ketujuh mereka sampai di kampung Makaihawido. Di kampung itu Tapehaugi menetap lama dan membuat rumah.
Tak lama kemudian mereka pergi menjual hasil buminya ke Ugoubado (Pronggo) untuk ditukarkan dengan hasil bumi dari pantai. Sampai di Ugoubado mereka masuk dirumah kepala suku Kamoro. Pada malam hari Kepala Suku Kamoro menceritakan tentang orang-orang barat yang sedang mewartakan Injil di daerah Kokonao. Tapehaugi sangat tertarik dan ingin berjumpa dengan para misionaris tersebut. Namun Kepala Suku Kamoro itu tidak menceritakan dimana keberadaan para misionaris itu. Tapehaugi mengetahui maksud hati Kepala Suku dan berjanji setelah tiga bulan Tapehaugi dan rombongannya akan membawah hasil buruan dan makanan. Janji Tapehaugi diterima baik oleh Kepala Suku Kamoro.
Tiga bulan kemudian Tapehaugi bersama rombongannya membawah 40 ekor burung Cenderawasih(tune mepiha)  yang sudah dikeringkan sebelumnya, ditambah makanan dan tembakau. Orang Kamoro pun sudah mempersiapkan kulit bia, 40 buah kampak batu (maumi) dan hasil laut lain sesuai perjanjian. Setelah pertukaran barang selesai, Kepala Suku Kamoro berjanji akan membawah para misionaris untuk berkenalan denganMaihora (panggilan orang Kamoro kepada Tapehaugi). Dengan hati yang senang dan gembira Tapehaugi bersama rombongannya kembali ke Wagikunu.
Pada suatu hari sementara Tapehaugi sedang membuat kebun, tiba-tiba istrinya Kesaimaga memanggil:“Ke-ke..tobouga-gogo wake, akogeima kedeke  kamena keino owegaimi”. Artinya ‘’hai  orang Tobousa, jangan melamun, sahabat-sahabatmu sedang datang, mari jemput mereka”. Tapehaugi pun bergegas menjemput mereka. Sesampai dirumah ia berpapasan dengan orang-orang berkulit putih persis seperti anak yang baru lahir(detamagawa). Kepala suku Kamoro berkata kepada Auki: “Maihoga, inilah orang-orang yang mewartakan kabar gembira”. Maka mereka saling berkenalan satu sama lain. Orang-orang berkulit putih itu antara lain Pater Tillemans MSC dan dr Bijmler. Pada kesempatan itu tepat bulan April 1932[2]. Tapehaugi menceritakan, “dibelakang gunung sana, orang seperti saya banyak, saya minta supaya kabar Injil diwartakan kepada rakyat saya yang berada dibalik gunung sana”, ungkap Tapehaugi berharap. Pater Tillemans berjanji setelah tiga tahun dirinya akan datang menuju Modio – Mapia. Selanjutnya Tapehaugi bersama istrinya kembali ke Modio.
Dalam perjalanan pulang, Tapehaugi mendapat nama baru dari seorang Malaikat di kampung / gunung Mokobike (Mouhago). Nama yang diberikan adalah AUKI – artinya laki-laki yang hebat dalam nada keheranan. Sesampainya di Modio, Auki menceritakan perjalanannya ke Kokonao termasuk nama yang baru diberikan itu. Orang-orang yang turut mendengar cerita Auki  antara lain Minesaitawi Tatago, Metegaibi Kedeikoto, Dakeugi Makai dan teman sedawar lain yang masih hidup pada masa itu.[3]
Pada tanggal 21 Desember 1935, P. Tillemans yang mengikuti Bijmler Ekspedisi menuju Modio[4]. Setelah lima hari perjalanan, pada tanggal 26 Desember 1935 rombongan P. Tillemans dan Tuan Bijmler  tiba di Modio. Pada waktu itu Ikoko Nokuwo memakai topi yang dibuat dengan rotan. Mereka disambut dengan Tupi Wani(Kapauku Folkdance) dan dipotong dua ekor babi sebagai pengucapan syukur atas kehadiran dua orang barat tersebut.
Selanjutnya Auki memerintahkan kepada Minesaitawi Tatago dan Dakeugi Makai untuk memanggil seluruh pimpinan masyarakat (Tonawi) yang ada diseluruh pedalaman Paniai. Sepuluh hari kemudian, para Tonawi tersebut tiba dengan rombongannya dengan membawa babi untuk pesta perdamaian [tapa dei]. Mereka yang turut hadir pada waktu itu antara lain Zoalkiki Zonggonao dan Kigimozakigi Zonggonau dari Migani, Gobay Pouga Gobay dari Paniai, Itani Mote dan Timada Badi dari Tigi, Papa Goo dari Kamu, Tomaigai Degei dari Degeuwo, Pisasainawi Magai dari Piyakebo, Dekeigai Degei dari Putapa, Enagobi Gobai dari Pogiano, Tubasawi Tebay dari Toubay, Mote Pouga Mote dari Adauwo dan Dakeugi Makai dari Pisaise, dll.[5]
Pada tanggal 7 Januari 1936, Pater Tillemans memimpin Misa Kudus dan membuka Injil diatas batu didepan rumah Bapak Auki. Itulah misa pemberkatan pertama di kampung Modio. Setelah misa kudus, dilanjutkan dengan doa perdamaian (tapa dei) yang dipimpin oleh Auki. Dalam doa inti Auki meminta Minesaitawi dan Dakeugi untuk membunuh dua ekor babi yang telah   dipersiapkan (Sabakina dan Bunakina). Ketika membunuh bunakina (babi hitam)  Minesaitawi berkata:Aki mogaitaitage Mee (bagi yang akan berbuat zinah), aki oma nai tage Mee (bagi yang akan mencuri), aki pogo goutage Mee (bagi yang akan membunuh), aki Mee ewegaitage Mee (bagi yang akan menceritakan orang lain),aki pusa mana bokouto Mee (bagi yang akan menipu) kou ekinama dani kategaine. Artinya:saya samakan kamu yang akan melanggar ajaran Tota Mana dengan babi yang saya bunuh agar tidak terulang lagi.” Selanjutnya Dakehaugi membunuh babi putih yang sudah diikat di Pohon Otika. Setelah itu Dakehaugi memotong pohon Otika dan mengeluarkan darah merah pertanda persembahan diterima[6].
Setelah upacara perdamaian selesai, rombongan Pater Tillemans kembali ke Kokenau dan melaporkan perjalanan kepada Pimpinan Gereja di Langgur (Ambon) dan Pemerintah Hinda Belanda bahwa dipedalaman Paniai ada manusia. Laporan itu diketahui Assisten Residen Fakfak dan Bestuur Assisten di Kaimana dan meminta Pilot Letnan Dua Laut Ir. F. Jan Wissel untuk menelusuri daerah Pegunungan. Pada awal bulan Februari 1937 Pilot Wissel terbang dari Utara (Serui = Geelvink) ke arah Selatan (Babo) menggunakan pesawat Sikorsky milik perusahaanNederlands Nieuw Guinea Petroleum Maatschapij (NNGPM) dan menemukan tiga buah danau dan perkampungan disekitar danau itu. Sejak saat itu danau Paniai, danau Tage dan danau Tigi dikenal Wisselmerren (bahasa Belanda artinya danau-danau Wisel). Selanjutnya pada bulan April 1938 P. H. Tillemans MSC ikut Ekspedisi Van Eachoud menuju Enarotali untuk membuka pos-pos pelayanan sekaligus menemui Tonawi-Tonawi yang sudah dikenal jauh sebelumnya di Modio, 1936.
Berita adanya manusia di Pedalaman Paniai didengar pula oleh Pendeta  R. A. JAFFAR. Akhir tahun 1937 Pdt. R. A. Jaffar mengajukan permohonan dan meminta ijin kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk membuka penginjilan di daerah pedalaman Paniai dan permohon tersebut dikabulkan. Dari Makasar beliau berangkat menuju Bumi Cenderawasih untuk melihat secara langsung  keadaan penduduk disana. Selanjutnya Pdt. R. A. Jaffar mengutus Pdt. Walter Post dan Pdt. Russel Dabler untuk merintis daerah pedalaman Paniai. Sesampai di Uta mereka berdua dijemput Yineyaikawi Edowai dan menuju daerah Paniai melalui sungai Yawei. Begitu tiba mereka bermalam di rumah Itani Mote di Yaba (Waghete).
Tahun-tahun berikutnya berturut-turut didatangkan penginjil-penginjil muda seperti Sam Pattipeiloi dari Ambon, Poltak Saragih asal Tapanuli dan Paja asal Kalimantan Timur bersama 20 orang dari Kalimantan Timur meninggalkan Makasar pada 5 Maret 1939. Mereka tiba di bumi Cenderawasih pada 20 April 1939. Berikut tahun 1941 datang pula beberapa lulusan SAM pada route yang  sama yaitu Ch. D. Paksoal, P. Pattipeiloi, C. Akhiary (Ambon Sanger Talaut), Ajang Lajang, Salim dan Teringan asal Kalimantan Timur. Dari kalangan gereja Katolik datang pula beberapa guru-guru muda seperti  Andreas Matorbongs ditempatkan di Enarotali,  gr Meteray di Kugapa dan Petrus Letsoin di Yaba. 
Segera sesudah itu perang dunia kedua meletus dan seluruh pelayanan misi dan zending diberhentikan. Beberapa misionaris dan pemerintah Belanda diinternir oleh tentara Jepang. Salah satu surat yang dilayangkan berbunyi: “Als de kontreleurs en de Pastoors zich niet aan de Japanners overgeven, hebben nedaar voor reeds  twee  grote  kapmessen  gereedliggen,  een  voor de pastoor en een voor mij”. Artinya jika pemerintah dari Belanda dan Pater tidak menyerahkan diri kepada pemerintah Jepang, mereka akan dipenggal kepalanya. Orang-orang Jepang telah menyediakan dua buah pisau besar, satu untuk penggal kepala para pastor, dan satu untuk saya (de  Bruijn).
Mendengar informasi ini, para misionaris dan Pemeritah Belanda  segera disembunyikan oleh orang-orang pedalaman di beberapa tempat seperti Komandoga, Siriwo dan Pegaitakamai. Orang-orang yang disembunyikan di Pegaitakamai antara lain Pater Tillemans, dr Rubiono dan DR. J.V. de Bruijn. Di gunung ini  dokter Rubiono yang mengikuti kedua orang barat itu menemukan seorang bayi kecil (tuan tanah) dan disembunyikan dalam tas. Menurut orang Mapia hingga saat ini, dokter Rubiono adalah Ir Soekarno, Presiden Republik Indonesia pertama. Walaupun dalam dokumen-dokumen sejarah Suku Mee dan daerah sekitarnya tidak pernah disebut nama Soekarno, kecuali nama dr Rubiono dan Adang Rusdy, seorang operator Radio Belanda – dan  juga Ir Soekarno sebelum tahun 1945 belum pernah injak daerah pedalaman Irian.
Tak lama kemudian pada bulan Agustus dan September 1942 tentara Jepang masuk ke daerah Paniai melalui Uta ke Oraya terus ke Enarotali. Cengkeraman kekuasaan Jepang di Paniai menyebabkan HPB de Bruijn terpaksa mengungsi ke Australia. Dalam pengungsian ini, ikut serta 26 pemuda Ekagi dan Migani. Mereka adalah Markus Yeimo, Piter Kadepa, Bernadus Gobay, Petrus Gobay, Kornelis Madai, Obeth Takimai, Erenius Mote, Yoakim Mote, Dominggus Mote, Bernadus Mote, Markus Goo, Kosmos Ekee dan Animalo Adi. Dari Merauke ada beberapa yang masuk polisi seperti Manatadi Gobay, Kaimodi Yogi, Bintang Gobay, Paulus Madai dan Yoseph Yeimo. Sedangkan yang lain masuk Batalyon Papua yang dibentuk tentara Sekutu untuk memerangi sisa-sisa tentara Jepang. Sementara itu, de Bruijn membawah tiga pemuda Ekagi ke Australia, masing-masing Karel Gobay, Zakeus Pakage dan Ikoko Nokuwo. Sementara itu Pater H. Tillemans dan dr. Rubiono bersama beberapa guru lainnya, berangkat dari Mapia menuju Enarotali untuk menunggu pesawat menuju Merauke. Di Enarotali P Tillemans dan rombongannya disembunyikan di gunung Bobaigo. Di gunung ini, dr Rubiono menangkap burung  Garuda (Imu =penjaga gunung, menurut orang Mee).
Pada tanggal 24 Mei 1943 P Tillemans MSC dan rombongannya berangkat dengan pesawat terbang dari Enarotali ke Merauke. Dua hari setelah keberangkatan mereka, daerah Paniai dan sekitarnya diduduki oleh tentara Dai Nippon. Usai perang dunia kedua, misionaris dan zending kembali ke daerah Paniai dengan membawah tenaga-tenaga guru, suster, Pater untuk membangun daerah yang telah “dipagari Allah”. Dari Misi seperti Gerardus Ohoiwutun dan Bartholomeus Welerebun di Enarotali. 


A. USAHA TETAP UTUHNYA “PAGAR ALLAH”

Kedatangan misi dan zending telah membawa banyak perubahan-perubahan. Banyak pemuda-pemudi dididik berpola asrama, ada pula yang dibawah keluar untuk studi di luar daerah bahkan diluar negeri. Itu semua dilakukan agar pada suatu saat mereka dapat membangun daerahnya sendiri berlandaskan budaya dan ajarannya. Salah seorang putra Me yang benar-benar menyadari akan hal itu adalah Zakheus Pakage. Ia pada saat pendudukan Jepang di bawah pergi oleh Dr. J.V. de Bruijn ke Australia dan selanjutnya disekolahkan di Sekolah Tinggi Teologia Ujung Pandang. Sepulangnya Zakheus membuat sebuah Gerakan Kebudayaan yang dikenal dengan “EDAGE BAGE” atau orang-orang dalam pagar. 
Menurut DR. Jan Boellaars dalam MANUSIA IRIAN DULU, SEKARANG DAN MASA DEPAN, nama EDAGE BAGE menimbulkan pikiran, bahwa hanya didalam pagar orang bisa aman terhadap bencana dan tanpa susah payah dapat menikmati kesuburan bumi. Serentak juga bergema didalam nama itu kisah asal dari Alkitab tentang Taman Firdaus, sebuah kebun berpagar, yang didalamnya manusia tidak mengenal penderitaan dan kematian.
Namun ada sekelompok orang yang tidak memahami benar Gerakan ini menyebut kelompok ini adalah “Wege Bage” atau kelompok perusak. Inti pokok dari ajaran ini adalah bahwa kearifan-kearifan dan kebenaran-kebenaran akan Allah terdapat didalam alam, adat dan ajaran orang Mee perlu dijaga, dilestarikan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Alkitab dipandang sebagai penyempurna ajaran asli.


B. DAERAH MAPIA DILUPAKAN, AUKI MENJADI GURU AGAMA PERTAMA

 Lain di Mapia. Akibat ditutupnya beberapa ‘dimi’ (bukit) oleh leluhur Mapia, maka daerah Mapia dilupakan kurang lebih 20 tahun (1939-1952). Auki sebagai tokoh  Mapia berkali-kali meminta ditempatkan seorang Pater, namun belum pernah dijawab oleh Pater H Tillemans sebagai Pimpinan Vikariat Apostolik Paniai pada waktu itu. Sementara daerah Paniai dan Migani banyak didatangkan guru-guru dari Kei dan Bruder Suster dari Belanda.
Namun Auki tidak buta terhadap firman Tuhan. Auki dibantu rekan-rekannya antara lain Minesaitawi Tatago (kepala perang), Anaigaibi Tekege (penghubung masyarakat), dan Bogapa sebagai pendukung kekayaan Auki melaksanakan berbagai kegiatan untuk mewartakan Injil didaerah Mapia. Cara Auki dan kawan-kawannya mengajarkan agama sangat unik. Pada waktu itu Auki dan Minesaitawi pura-pura bertengkar dan “akawaina” (gerakan menggoyangkan kaki pertanda penyelesaian suatu masalah), dengan tujuan orang dapat berkumpul dimana kedua orang bertengkar.
Setelah orang semakin banyak, Auki sambil menunjukkan sebuah gambar TUHAN YESUS yang diberikan oleh Pater Tillemans mengatakan: “Kiko UgataMee sokaibo, okaina Mee, inii dani, dimihago, peka, ebe okaina ewaa. Iso koma kado koma to dege, ekaki Yesus. Hamake iniha peudo maidamake piha bokouda nihabokata.” (=Dia adalah Anak Allah, punya hidung, punya mata dan akal budi. Hanya rambut dan kulit dan berbeda. Ia mati di kayu salib karena dosa manusia)[7]. Karena itu AUKI disebut guru agama Kristen pertama didaerah Paniai.
Dalam keadaan demikian, dua orang pemuda dari Timepa yakni Otto Wakei dan Amasimesai Petege mengikuti orang tuanya ke Yaba (Wagethe). Di Yaba mereka nginap dirumah Itani Mote (Weakebo Mote). Disana mereka menyaksikan bagaimana para Pater menyekolahkan anak-anak dan perkembangan maju cepat. Akhirnya pada tahun 1948, Otto dan Amakasimesai kembali ke Mapia dan meminta kepada para tua-tua adat di seluruh Mapia untuk membuat upacara Deba Duwai, yang tujuannya adalah membuka semua dimi-dimi yang sudah ditutupi (dipagari) oleh Allah. Nyatanya, pada tahun 1949 Pater Tillemans mengunjungi daerah Mapia dan berjanji akan memberikan seorang Pater.


C. PEMBANGUNAN GEREJA PERTAMA DI MAPIA

Tak lama kemudian, tepatnya pada tanggal 22 Pebruari 1952, hadirlah seorang Pater muda bernama Engelbertus Smith (dikenal Henk Smith). Kedatangannya disambut dengan tupi wani yang diselingi Gaidai-Wainai ala Mapia (Kapauku Folkdance). Ia disambut seperti seorang Raja. Pada kesempatan itu pater Smith diberi gelar MAPISABI (raja Mapia).
Ketika Pater Smith di Mapia, ia tidak tinggal diam. Banyak kegiatan gerejani yang dilaksanakan, hal ini membuat umat Mapia mulai membangun dan menata kehidupan mereka. Selain kegiatan gerejani, pater juga berperan sebagai Tukang dan Mantri. Menjelang Natal tahun 1952, Smith memerintahkan untuk segera mempersiapkan WODA-EKINA (kuskus dan Babi) serta BAI PUGO (keladi dan batangnya). Pater Smith  sendiri  mempersiapkan dua ekor babi. Tepat pada tanggal 26 Desember 1952 (setelah malam Natal) terjadi pesta Natal yang paling Akbar diseluruh pelosok bumi Cenderawasih. Berikut kutipan kronologis peristiwa Natal yang dipimpin P. Smith dan didampingi langsung AUKI sebagaimana dimuat dalam IKTISAR KRONOLOGIS SEDJARAH MASUKNYA GEREJA KATOLIK DI IRIAN BARAT[8] :

“Tepat pada tanggal 25 Desember 1952 Natal dirayakan seperti biasa dimana-mana. Natal yang istimewa ialah di Modio, tempat tinggal Pater Smith. Pada hari itu pastor Paroki membeli dua ekor babi. Penduduk kampung sekitarnya, dan bahkan penduduk kampung dari jauh datang berbondong-bondong ke Modio. Kira-kira ada dua ribu  orang datang. Auki raja Modio, merasa bangga. Pada hari menjelang Natal orang-orang membawakan dua ekor babi. Rupa-rupanya mereka menjadikan pesta Natal sebagai hari pesta besar-besaran = Yuwo. Sehingga sebelum Natal, mereka telah datang berkumpul. Tiap malam  mereka  bernyanyi  dan  menari.  Pater  Smith  tidak pernah absen. Tiap malam ia ikut tupi wani  atau sering disebut “akamine uno” (malam salaman sambil memberikan hadiah). Hal mana menambah kegembiraan orang Kapauku. Puncak perayaan ialah tanggal 25 Desember 1952. Para guru membuat Altar, dipasang dibawah kolong langit. Seluruh umat berjongkok mengelilingi altar. Kepala-kepala kampung berteriak-teriak memberi instruksi kepada rakyatnya, bagaimana mereka harus berlutut dan sebagainya. Setelah agak tenang Pastor Paroki memberikan mereka pelajaran Agama  dalam bahasa Mee. Habis pelajaran agama misa dimulai. Para guru bersenjata lengkap  dengan panah dan busur berjalan ke kandang babi. Empat ekor babi dipanah mati, menyusul yang lain. Selama babi dimasak, sering-sering timbul sorak dan teriak (hu-waita). Pater Smith sambil mengisap cerutu besar, berkeliling diantara umatnya dan beramah tama dengan mereka. Sementara itu daging babi sudah dimasak. Sebelum mereka makan, Pastor Paroki membawakan doa Bapak kami dan salam Maria. Habis makan mereka mulai tari-tari lagi. Mereka bersumpah kepada para pastor  akan setia kepada Tuhan seumur hidup. Raja Modio, Auki, terus menerus berpidato. Hari Natal adalah hari besar baginya. Pada kesempatan ini ia mengenakan pakaian kebesaran baginya, artinya ia mengenakan Piyama Tua, yang dibelinya di Kokonao ditukar dengan segemgam tembakau  (Kapaki=rokok bhs.Mimika). Diatas kepala ia memakai topi jerami (migaba), suatu hadiah  dari bapak KPS. Dan untuk mempertunjukan bahwa ia termasuk golongan Katolik meskipun pada waktu itu ia belum dipermandikan, ia mengalunkan tasbeh panjang pada lehernya. Pada waktu malam perayaan dilanjutkan. Pater Smith tunjuk muka lagi. Seorang guru menyediakan kursi untuk Pater.  Pastor Paroki belum lama duduk, terus dikelilingi orang banyak. Dari belakang ada tangan memeluknya. Pater memalingkan kepala dan melihat seorang wanita tua, yang dengan tersenyum berkata “aki aniya naitai” artinya kamu bapaku.”

Demikian pada Natal pertama di Modio.  Tuhan telah melahiran anak 2000 lantaran Pater Smith. Pater Smith mengatakan saya sangat bangga dan terharu merayakan Natal dengan masyarakat Mapia. Tak lama kemudian masyarakat bersama Pater Smith membangun gereja bersama-sama. Dalam waktu yang tidak lama berdirilah  Gereja pertama dengan nama St Ambrosius Modio.
Selanjutnya pada tanggal 02 April 1959 Pater Smith mengunjungi ibunya yang sakit di Netherland sekaligus untuk cuti. Sebelum meninggal Pater Smith datang ke Modio untuk merayakan Pesta Perak bersama umat Mapia. Kali ini, ia disambut sangat meriah dan haru. Paterpun terharu melihat perkembangan Modio-Mapia yang begitu cepat. Dengan suara terputus-putus, Pater Smith dengan menggunaan bahasa khas Mapia mengatakan: “Ani Itonago ko, ana nomo nuta wegatemega nako enakepaibeu tena doune mega. Hamake anadouko,  inoko ena kida tipai, inoko enakai dimi kohoka, ani bokapa koda, UgataMee epa etitouta ko, AKI-ha ani dodo natogetako ekowapa kihoka nadouno etitouta,”  ungkap Pater sambil air mata berlinang.  Artinya “saya datang hari ini untuk melihat keladi dan petatas yang saya pernah tanam, namun saya melihat ada yang sudah masak dan ada yang hampir masak. Oleh karena itu setelah meninggal saya akan lapor kepada Tuhan atas pekerjaanku  ini.” Pater sebelum sampai di Negeri Belanda meninggal di Jakarta. Selamat Jalan “Sang MAPIHABI”.


D. JASA SEORANG AUKI

Auki adalah manusia pra Modern yang belum tahu apa itu Injil atau Alkitab apalagi perkembangan dunia luar. Tetapi dengan gigih berjuang menghadirkan kabar suka cita di daerah pedalaman melalui hubungan dagang yang sudah lama dijalin dengan suku Kamoro. Dalam sejarah perkembangan bangsa barat ke wilayah ekspansinya sering terjadi perang dengan bangsa pribumi. Namun pertemuan awal antara Auki dengan para misionaris terjadi dengan damai dan saling memandang satu sama lain sebagai ciptaan Tuhan. Oleh karena itu DR JV de Bruijnmenyebut  Auki adalah orang yang bijak dan berpengalaman, juga berprestasi dan berkemampuan. Auki juga sudah melihat laut, Maikaida dan mengadakan kontak dengan orang Mimika dengan tukar menukar rokok dengan garam, juga menguasai bahasa Mimika. (Auki is echter een bereisd man, waaraan hij zijn prestige ontleent. Hij heft de zee, maikaida, gezien. Hij ruilhandel drijft-tabak tegen zout de Mimikataal).[9]
Auki dibabtis menjadi orang Katolik pada tanggal 19-07-1958 bersama rekan-rekannya dari Mapia oleh Vikaris Apostik dan Uskup Tituler Mosynopolis Irian, Mgr. Dr. Staverman di Modio. Satu tahun kemudian 1959 Auki meninggal dalam usia muda. Beliau dimakamkan di Gokotikapau, yaitu sebuah gua yang sudah dipilih sebelumnya.
Pepatah mengatakan “Gajah meninggalkan gading, manusia meninggalkan nama”. Pepatah ini tidak berlaku bagi seorang Auki yang telah berjasa bagi orang pedalaman dan pegunungan bumi Cenderawasih. Karena jasanya menawarkan misionaris datang membuka mata hati pikiran orang gunung belum pernah dikenal luas. Sekarang menjadi tanggung siapa? Apakah orang Paniai yang telah muncul sebagai Auki-Auki kecil tinggal diam tanpa berterima kasih sedikitpun? Lima puluh tahun pesta emas berdirinya Gereja Modio – Mapia dan 70 Tahun masuknya Agama di daerah pedalaman Paniai adalah merupakan tonggak sejarah yang perlu dihayati dan direnungkan bersama-sama. Agar masyarakat Mapia khususnya dan orang Irian umumnya dapat membuka mata melihat kehidupan baru kedepan, untuk membangun, menata dan mengangkat sisa-sisa firdaus yang semakin hilang.
Sebelum Auki meninggal hanya ada satu pesan yang ditinggalkan kepada anak-cucunya, kepada orang Modio dan Mapia khususnya dan orang Irian umumnya.

AUKI bukan milik Tekege paa
AUKI bukan milik Tatago paa
AUKI bukan milik orang Modio
AUKI bukan milik orang Mapia
AUKI bukan milik orang Pedalaman
AUKI bukan milik orang Melanesia

Tetapi …………….

AUKI adalah  milik setiap insan manusia
Yang mencintai dan mencari firdaus
AUKI adalah simbol firdaus yang hilang
Yang mencari dan menemukan Kabo-Mana
Untuk kita

Auki pergi menawarkan dan menerima agama Kristen di Mimika, bukan berarti mau meniadakan atau mau menghilangkan ajaran agama asli, melainkan untuk menyempurnakan, memperbaharui dengan ajaran Kristen, sebagaimana kata Yesus kepada para muridnya: “Aku datang bukan untuk meniadakan atau menghilangkan hukum Taurat atau kitab para Nabi. Aku datang bukan untuk menghilangkan, melainkan untuk menggenapinya”(Matius 5:17). Tetapi Auki juga mengalami hal yang sama seperti yang pernah dialami Yesus, bahwa “Seorang nabi dihormati dimana-mana, kecuali di tempat asalnya sendiri dan di rumahnya” (Matius 13:57, Lukas 6:27-36, Markus 6:1-6, Lukas 4:16-30). Semoga nama besar Auki dikenang didalam setiap insan yang mencintai kedamaian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar