Senin, 08 Mei 2017

DASAR-DASAR BUDAYA YAMEWA SUKU MEE PEGUNUNGAN TENGAH PANIAI  PAPUA

 YAMEWA adalah salah satu tempat tinggal untuk laki-laki, yang dibangun oleh suku Mee Papua. Siapa suku Mee itu? Suku Mee adalah salah satu suku dari 312 suku yang ada di Papua [Athwa, 2004: 7]. Suku Mee mendiami di wilayah Pegunungan Tengah Papua Bagian Barat. Ciri khas wilayah suku Mee adalah di sekitar Danau Paniai, Danau Tage, Danau Tigi, Lembah Kamu [kini Kabupaten Dogiyai] dan pegunungan Mapiha/ Mapisa [Koentjaraningrat, 1963]. Namun, kini secara administrasi pemerintahan suku Mee berada di empat Kabupaten yakni Kabupaten Paniai, Kabupaten Deiyai, Kabupaten Dogiyai dan Kabupaten Nabire. Arsitektur Tradisional Yamewa adalah wujud karya nyata leluhur suku Mee. Namun yang menjadi pertanyaannya adalah apakah karya leluhur itu dapat di lestarikan atau dimusnahkan, karena mengangap “kuno, kampungan, ketinggalan, dan tradisional?”. Arsitektur tradisional merupakan suatu wujud kebudayaan yang bertumbuh dan berkembang bersama dengan pertumbahan dan perkembangan suatu suku atau bangsa. Dan merupakan wujud unsur kebudayaan yang bisa diraba/ dilihat [Koentjaraningrat [2002], dalam [Nurani, 2004:11-12]. Arsitektur tradisional “Yamewa” adalah salah satu dari hasil penelitian yang didapat, dan berhasil dihimpun. Dalam penelitian yang berjudul “Studi Tipologi dan Kearifan Arsitektur Tradisional Suku Mee Papua” itu kami menemukan sejumlah tipe arsitektur tradisional yang dimiliki oleh suku Mee Paniai Papua,Dalam arsitektur tradisional Yamewa suku Mee Papua terkandung nilai-nilai budaya yang diperlihatkan melalui hasil karya arsitektur Yamewa. Yamewa yang dapat kita lihat saat ini adalah hasil kesimpulan akhir atas pengujian alami yang dilakukan oleh leluhur orang Mee. Selain itu, Yamewa merupakan kesimpulan dari apa yang dipikirkan oleh orang Mee, dan “diwujudkan” [dibangun] sebagai tanggapan terhadap sekumpulan kondisi yang kadang-kadang hanya bersifat fungsional semata atau merupakan refleksi sosial, ekonomi, politik, perilaku atau tujuan-tujuan simbolis [D. K. Cing, 1996]. 1. Arti kata Yamewa/ Yame Owa. Setiap nama yang diberikan oleh suku Mee, baik untuk nama orang, nama tempat, nama gunung, nama danau, dan atau nama pohon masing-masing mempunyai makna dibalik nama itu. Kata yamewa berasal dari bahasa suku Mee Papua. Yamewa berasal dari dua kata yaitu yame dan owa. Secara harafiah yame artinya laki-laki. Owa artinya rumah. Sehingga Yame Owa artinya [Rumah tinggal khusus laki-laki]. Rumah ini [yame owa] dibangun untuk tempat tinggal khusus laki-laki dalam sebuah kampung. Dalam sebuah kampung terdapat 1 [satu] yame owa atau lebih. Jika jumlah laki-laki yang ada di kampung itu tidak cukup untuk menampung dalam yame owa itu. Namun, bagi seorang kaya [tonawi] jumlah laki-laki tidak menjadi pertimbangan pokok. Tetapi sebuah “kebutuhan utama” untuk memperlihatkan eksistensinya sebagai seorang tonawi. Tonawi adalah sebutan bagi seseorang yang dianggap telah matang [mobu] dalam perekonomian dan menguasai hal-hal mistik [Pigai, 2008:7]. Penyebutan lain dari kata yamewa/ yame owa adalah emawa. Bila kita tinjau dari harafiahnya, kata emawa mengandung dua arti. Pertama, ema artinya pangung hiburan yang dibuat di rumah pesta adat [yuwowa pa]. Kedua wa, adalah singkatan dari kata owa, yang artinya rumah. Jadi, emawa artinya tempat dimana para laki-laki berkumpul entah di yamewa, sebagai tempat tinggal laki-laki atau di yuwowa sebagai tempat hiburan/ pesta adat. Dimana para laki-laki terutama anak muda mencari jodoh. Pembicaraan mengenai yuwowa, mengapa itu dibangun? Apa arti filosofis bagi suku Mee, terutama kaitannya dengan ilmu arsitektur, kita akan bahas dilain waktu. Karena dalam tulisan ini kita harus membatasi diri pada yamewa/ yame owa dan kaitannya dengan filosofi, nilai-nilai adat dan budaya yang terkandung dalam ilmu arsitektur tradisional [yamewa/ yame owa]. 2. Makna Yamewa Dalam Kehidupan Laki-Laki Suku Mee. Yamewa tidak berdiri begitu saja sebagai sebuah “maha karya” para leluhur suku Mee sebagai [wujud] dan tempat dimana para laki-laki berkumpul pada malam hari untuk berlindung dari gelapnya malam. Akan tetapi keberadaan yamewa sangat menentukan kehidupan [masa depan] suku Mee sebagai tempat inisiasi bagi para anak laki-laki. Yamewa dibangun oleh seseorang [tonawi] atau yang dianggap tua di sebuah kampung. Sebagai tempat dimana para laki-laki berkumpul, maka dalam yamewa terbentuk suatu komunitas yang disebut “komunitas laki-laki”. Komunitas laki-laki yang terbentuk di dalam yamewa ini dapat dikatakan sebagai suatu masyarakat. Menurut Abdul Syani [1987] dalam Basrowi [2005] membagi masyarakat community [komunitas] dari dua sudut pandang. Pertama, memandang community sebagai unsur statis, artinya community terbentuk dari suatu wadah atau tempat dengan batasan-batasan tertentu, maka ia menunjukkan bagian dari kesatuan-kesatuan masyarakat sehingga ia dapat pula disebut sebagai masyarakat setempat, misalnya kampung kecil. Masyarakat setempat adalah suatu wadah dan wilayah dari kehidupan sekelompok yang ditandai oleh adanya hubungan sosial. Disamping itu, dilengkapi pula oleh adanya hubungan perasaan sosial, nilai-nilai dan norma-norma yang timbul atas akibat dari adanya pergaulan hidup bersama manusia. Kedua, community dipandang sebagai unsur yang dinamis, artinya menyangkut suatu proses-[nya] yang terbentuk melalui faktor psikologis dan hubungan antarmanusia, maka didalamnya ada yang sifatnya fungsional. Sebagai contoh, masyarakat pegawai negeri sipil, masyarakat kampung, mahasiswa, dan lain sebagainya [Basrowi, 2005:37-38]. Dari kedua pandangan diatas, maka didalam yamewa dapat disebut sebagai sebuah bangunan [ruang] yang membatasi komunitas laki-laki dan komunitas perempuan. Maka, dalam kehidupan masyarakat Mee mendirikan dua jenis bangunan yaitu bangunan khusus laki-laki disebut yamewa dan bangunan khusus perempuan disebut yagamowa/ yagamo owa. Dengan pembagian [rumah] yang “jelas, tegas” ini yang dibatasi oleh nilai-nilai dan norma adat dan budaya orang yang patut di anut oleh masyarakat Mee yang ada didalam budaya dan lingkungan. Berdasarkan pembagian komunitas antara laki-laki dan perempuan ini, maka pada akhirnya masyarakat suku Mee “membagi dan membatasi” [antara laki-laki dan perempuan] dengan sebuah bentuk wujud nyata karya arsitektur “yamewa dan yagamo owa”. Pembatasan dan pembagian ini tidak berhenti sampai disitu, namun dalam nilai-nilai hidup budaya orang Mee sejak dulu telah ada. Dimana adanya pembagian tugas dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang jelas dan tegas dalam memenuhi kebutuhan kehidupan keluarga mereka. Untuk itu, yamewa berdiri dalam arti arsitektur sebagai identitas diri laki-laki dari fasad estetis [wujud bentuk luar maupun isi ruang dalam yamewa itu sendiri]. Sedang yamewa dalam arti antropologi, sosial dan budaya suku Mee dipandang sebagai berikut: Pertama, Tempat musyawarah [mana duwaida/ mana duwataida]. Kehidupan suku Mee pada masa lalu tidak terlepas dari, masalah/ perang antar kampung dan marga. Masalah-masalah itu dipicuh oleh berbagai hal misalnya, perebutan tanah leluhur, persoalan maskawin perempuan. Kedua hal ini yang menjaddi dominan dalam kehidupan suku Mee, karena pertama tanah diyakini sebagai “mama” yang memberikan susu kepada anaknya. Kedua, maskawin perempuan, karena arti perempuan bagi suku Mee diantanya adalah dompet laki-laki, sumber keturunan, tali persahabatan, dan penyelesai perang/ masalah. Bukan hanya kedua hal diatas, namun apapun masalah yang sering terjadi di kehidupan suku Mee, maka tempat penyelesaian masalah adalah di yamewa. Dalam proses penyelesaian masalah semua laki-laki dan perempuan berkumpul untuk membicarakan masalah yang terjadi. Namun, kadang-kadang para perempuan diminta untuk tidak ikut terlibat [tidak dilibatkan] dalam proses penyelesaian masalah itu. Beberapa pertimbangan mendasar untuk di jadikan yamewa sebagai tempat bermusyawarah adalah pertama, ruang luar dan dalam yang besar dan luas bila dibandingkan dengan yagamo owa [rumah tinggal khusus perempuan]. Kedua, masalah atau persoalan yang dibahas dapat diselesaikan atas kesepakatan bersama [sama-sama untung]. Ketiga, orang yang baru datang dari luar kampung [mee te me] datang atau masuk di dalam yamewa dengan berani dari pada yagamo owa. Bila musyawarah dilakukan di yagamo owa, para tamu engan masuk ke dalam rumah tinggal perempuan. Karena pertimbangan privasi perempuan, dan merasa malu. Keempat, bagi orang yang mempunyai pendapat, bebas mengeluarkan pendapat yang disertai alasan atau di sampaikan secara gambaran umum atau pokok pokok pikirannya saja [boko mana to wegai]. Kedua, tempat belajar seorang laki-laki [yame ka topetaida]. Kata yame ka topetaida artinya tempat terjadinya proses belajar dan mengajar khusus laki-laki. Yame ka artinya punya laki-laki. Lebih menekankan pada kepemilikan laki-laki. Maka itu, dalam yamewa berisi segala sesuatu yang “wajib” di pelajari/ belajar oleh anak-anak laki-laki. Karena, didalamnya terdapat, nilai-nilai budaya orang Mee yang harus diterima oleh laki-laki. Anak laki-laki yang telah mencapai usia lebih dari 4 tahun, wajib tinggal di Yamewa. Di yamewa para laki-laki berkumpul mengelilingi tungku api. Dan dirumah inilah anak-anak laki-laki belajar, mengikuti dan melanjutkan budaya orang Mee. Menurut Keontjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil karya yang harus didapatkan dengan cara belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Anak laki-laki Mee belajar kebudayaan suku Mee di dalam yamewa dengan cara belajar, hidup dan tinggal bersama dengan para orang dewasa di dalam yamewa atau diluar yamewa. Di dalam ruang yamewa ini terjadi pertukaran informasi, tercipta budaya, dan hasil karya manusia Mee. Ruang yamewa saat berarti dalam kehidupan suku Mee dalam rangka pelestarian nilai-nilai budaya hidup yang terkandung dalam bangunan ini. Dalam yamewa terbentuk sebuah bangsa secara budaya, yang tidak ciri dan bentuk tidak sama dengan budaya orang lain. Seperti yang diungkapkan oleh Hatta, bahwa kebudayaan adalah ciptaan hidup dari suatu bangsa. Ketiga, Tempat istirahat [yame ka uno umida]. Setelah sepanjang harinya melakukan aktivitas masing-masing, para laki-laki berkumpul pada malam hari di kediaman mereka [yamewa]. Aktivitas yang dilakukan oleh para laki-laki sangat berfariasi. Misalnya, ada yang pergi ke hutan untuk mencari kayu dengan berbagai kebutuhan. Sebelum tidur atau sekitar jam 06-09 para laki-laki [terutama anak-anak] datang ke yagamo owa [rumah tinggal perempuan] untuk mendapat makanan yang dipersiapkan oleh ibu rumah tangga bagi mereka. Makanan yang dibagikan oleh ibu rumah tangga diantaranya seperti ubi, [dugi/ nota] keladi [nomo] ikan atau udang. Dan kadang-kadang makan bersama dirumah yagamo owa, tapi makanan yang makan bersama ini kadang atas kesepakatan bersama. Misalnya, degnan cara aki you-you [artinya bagi dalam keadaan menta untuk msak masing-msing orang sesuai dengan selera]. Para laki-laki mulai berdatangan ke yamewa sekitar jam 7-10 malam. Mereka sebelum datang ke yamewa pergi [duduk bersama anak istri di yagamo owa] untuk mendapatkan makanan baginya yang disediakan oleh ibu-ibu. Setiap laki-laki yang telah berumur lebih dari 4 tahun harus tinggal di yamewa. Mengapa? Karena, dengan beranggapan bahwa tinggal [tidur] bersama perempuan [yagamo], maka laki-laki tidak akan berpikir baik, logis, dan benar, misalnya para laki-laki dilarang untuk mendekati perempuan pada saat perempuan mengalami halangan [menstruasi]. Para laki-laki yang telah berkumpul di yamewa, sebelum tidur [istirahat] mereka melakukan dialog [diskusi]. Hal-hal yang mereka diskusi [bahas] diantaranya seperti masalah-masalah actual yang terjadi di sekitar kampung atau di luar kampung. Selain itu, mereka juga menceritakan berbagai hal terutama kepada anak-anak alaki-laki. Hal-hal yang lebih sering disampaikan adalah mengenai hubungan keluarga [system kekerabatan sosial], batas-batas tanah leluhur, mengingatkan masalah pada masa lalu [perang antar kampung atau marga]. Pembahasan [diskusi] ini awalnya diceritakan oleh salah satu orang yang menyaksikan atau mendengar persoalan aktul yang terjadi sepanjang hari, atau sebelumnya. Jika persoalannya menarik, maka mereka membahas masalah itu sampai larut malam, kadang sampai pagi [tidak tidur]. Secara umum bahan diskusi yang menjadi menarik untuk diskusi di yamewa terutama kepada anak laki-laki sebagai proses inisiasi adalah yape mana [perang antar marga atau kampung], mas kawin [mege yamakita mana/ waka mana], menjarkan hal-hal baik, atau nilai-nilai luhur kepada anak laki-laki [umitou mana], dan bagaimana strategi menempu peperangan misalnya dengan kopa [tongkat] atau dengan memwabwa uka mapega [busur dan anak panah]. Keempat, Tempat menyimpan kelengkapan laki-laki. Yamewa bagi suku Mee tidak sekedar untuk beristirahat atau sebagai simbol kejajahan seorang laki-laki. Tetapi dalam yamewa menyimpan berbagai macam dan bentuk kelengkapan laki-laki. Kelengkapan [alat-alat] yang disimpan ini ada yang barang-barang berharga dan legendaris. Tempat menyimpan [peletakan] dari masing-masing barang ini dipisahkan sesuai dengan jenisnya. Misalnya, ada yang di letakan di dinding, di sudut rumah [dagi pakopa] dan dan juga di kidouda [ruang atas]. Alat-alat [kelengkapan laki-laki] yang menghiasi dinding rumah maupun yang diletakan dilantai di rumah yamewa diantaranya, adalah uka, mapega, koteka, waiya, ipou uwawe, ekina ego, woda ego, weta kona, yika, maumi. Setiap alat perlengkapan ini mempunyai fungsi yang berbeda. Untuk mendapatkan alat-alat [bahan] ini rata-rata membutuhkan waktu yang panjang. Hal ini disebabkan oleh tingkat kerumitan pekerjaan maupun kesulitan bahan. Selain alat atau kelengkapan laki-laki yang disebutkan diatas, suku Mee juga mengenal teknologi tradisional. Misalnya, kapak batu [maumi], mempu menciptakan [menghasilkan] api dengan perlatan sederhana [beko-mamo]. Untuk mengola tanah pertanian mereka, diperlukan tongkat yang terbuat dari kayu yang keras misalnya amopiya, kenago, beberapa jenis pohon lain yang dianggap kuat dan bertahan lama. Jenis alat pengola lahan pertahanian ini disebut yado. Ada 3 jenis yado, yakni woya yado [tongkat berukuran panjang], pini yado [tongkat berukuran pendek], maa yado [tongkat kayu buah]. Alat-alat [perlengkapan] laki-laki ini disimpang di rumah yamewa. Tetapi, kadang-kadang ada yang menyimpan di rumah pondok [owa yokapa] yang dibangun di kebun hutan. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga babi hutan, agar tidak menggangu tanaman, dan kadang dimanfaatkan untuk mencari kus-kus hutan pada malam hari [saat bulan terang]. 3. Yamewa dan Pandangan Hidup Manusia Mee. Pada umumnya orang Mee menghayati pandangan hidup yang diturunkan oleh leluhur mereka. Didalam yamewa misalnya, setiap anak laki-laki “harus” [perlu] mendapat “nasehat” yang menjadi pandangan hidup bagi anak itu sendiri di kelak. Ada dua kata yang menjadi pandangan hidup bagi suku Mee yang sampai saat ini masih ada yakni pertama, “dimi akauwai awii” [jadikan akal budi/ pikiran, sebagai kakakmu], sedangkan kedua, Dou, Gaii, Ekowai [melihat, berpikir, dan melakukan/ bekerja]. Kedua kata [pandangan] ini orangtua selalu diungkapkan pada saat seseorang/ terutama anaknya hendak bepergian [merantau] di daerah lain. Orang Mee tahu bahwa setiap orang dipenuhi dengan dimi [pikiran]. Dimi selalu terdapat dalam setiap orang Mee. Ketika dimi meninggalkan tubuh selamanya, ketika itu seseorang meninggal dunia. Kerja sama antara dimi dan epo [tubuh] akan mengarahkan seseorang untuk melakukan hal-hal yang positif. Segala perbuatan yang dituntun oleh dimi selalu membawa dampak positif seperti sukses, bahagia, kepuasan batin, mendapat kepercayaan, nama baik. Memperhatikan dimi sebagai pedoman hidup, orang Mee mesti menghayati dan menghidupi tiga prinsip dasar kehidupan yakni dou [melihat], gai [berpikir/ refleksi], ekowai [melakukan/ bekerja]. Orang Mee memandang, melihat dan mengevaluasi dan menginterpretasikan tindakan seseorang atas dasar ketiga prinsip ini. Orang Mee selalu menekankan pentingnya dou dan gai sebelum mengambil keputusan yang mengarahkan kepada tindakan ekowai [1998]. Selain pandangan hidup suku Mee secara umum yang disebutkan diatas, berikut ini merupakan pandangan hidup suku Mee yang terkandung [tersimbol] dalam bangunan [rumah] yamewa dan kehidupan laki-laki suku Mee kelak, baik didalam rumah yamewa itu sendiri maupun pada saat berinteraksi dengan orang lain [diluar yamewa], yang dalam kaitannya dengan yamewa dan pandangan hidup manusia Mee itu sendiri. Pertama, Yamewa sebagai identitas seorang laki-laki. Dimana ada yamewa disitu ada laki-laki. Tanpa yame tidak mungkin yamewa didirikan. Untuk itu, yamewa dibangun untuk memperlihatkan eksistensi seorang laki-laki Mee sebagai jati diri dan identitas pribadi, kampung, bahkan lebih jauh adalah sebagai identitas suku Mee di Papua. Yamewa yang dibangun oleh suku Mee, memperlihatkan identitas diri seorang laki-laki Mee. Dimana ia [yamewa] memiliki estetika yang lebih unik dan menarik [seperti seorang laki-laki, menghiasi tubuhnya] dibanding dengan bangunan lain yang dibangun oleh suku Mee itu sendiri, misalnya Yagamo Owa, Yuwo Owa, Bedo Owa dan lain-lain. Ciri khas seorang Yame [laki-laki] ini kita dapat lihat dari bangunan yamewa, dimana ikatan tali pada bangunan yamewa itu sendiri. Misalnya pada dinding luar dan dalam. Ikatan tali-tali yang memiliki banyak nama seperti, togi teba, uwo maga, badou ketepe, mauwayage. Pada kehidupan laki-laki Mee, apa lagi seorang Tonawi, menghiasi tubuh [okai ma/ okai tine] dengan berbagai perhiasan yang melambangkan kemewaannya. Kedua, yamewa sebagai tempat dimi mana motida/ topida. Sebelum mencapai umur 14 tahun, tugas mendidik dan membina anak laki-laki adalah tanggungjawab penuh dari bapanya. Bagi seorang anak laki-laki, satu-satunya guru adalah bapa. Bapa menghabiskan banyak waktunya dengan anak laki-laki. Pada saat-saat seperti ini bapa menjelaskan bagaimana cara berdagang, memelihara babi, dan agar berkembang menjadi seorang makodo tonawi [tonawi sejati]. Anak laki-laki akan belajar dari “tindakan” bapanya tentang bagaimana membuat busur, dan anak panah, perahu, mengasa kapak/ pisau, membangun rumah serta sejumlah keterampilan dan pengetahuan [ena dimi-mana] lain yang berguna untuk menjadi seorang laki-laki sejati. Anak belajar semuanya itu dengan mengambilbagian dalam kegiatan-kegian tersebut. Anak belajar keterampilan-keterampilan ini, tidak hanya dengan mengamati dan mendengarkan melainkan juga dengan cara mempraktekkan. Menyadari bahwa seorang anak mesti dibina tidak hanya dalam hal keterampilan dan pengetahuan, orangtua menciptakan kesempatan untuk menjadi independen dan mandiri. Hal ini dibina dengan memberikan sebagian kebun dan mendorong dia mengolah demi kepentingan keteramppilan dan pengetahuannya. Selain itu, kadang-kadang orang tua juga memberikan anak babi. Pemberian anak babi ini disertai dengan penjelasan tentang pentingnya pemeliharaan babi dan keuntungan-keuntungan yang akan diperoleh apabila memelihara babi itu dengan tekun. Pada sore/ malam hari di rumah yamewa anak belajar [mendengarkan] tentang mitos, legenda [tetaa]. Peristiwa-peristiwa bersejarah yang diceritakan, direfleksikan dan didiskusikan oleh para orang tua di rumah yamewa. Salah satu aspek lain yang ditanamkan kepada seorang anak laki-laki adalah keberanian. Bapak mendidik anak menjadi orang yang berani. Hal ini dilatih mulai dari dengan perang-perangan antara bapak dan anaknya. Ketika anak tertembak, bapak mengajarkan siasat perang dan sejumlah hal lain yang memperagahkan dia menjadi orang yang lincah dan berani menghadapi prang [Neles Tebay, 1998]. Ketiga, yamewa sebagai “simbol pemersatu” ide, perasaan, dan perbedaan pandangan. Setiap orang memiliki karakter dan sifat yang berbeda. Begitu juga laki-laki suku Mee, mempunyai sifat dan karakter yang khas dan berlainan. Dalam menyelesaikan masalah-masalah yang telah dihimpun di yamewa tentu berbeda, pandangan dari setiap orang. Untuk mempersatukan semua ide, pandangan, pendapat dari semua laki-laki yang datang atau tinggal di yamewa. Sebelum mengambil suatu kesimpulan untuk mempersatukan semua pendat, semua orang yang mempunyai pendapat diperkenankan untuk menyampaikan kepada seseorang orang yang diaanggap bisa mengambil jalan jalan tengah (keputusan), yang disebut mana tonawi. Keempat, yamewa, sebagai simbol [wujud] kebudayaan suku Mee. Sebelum agama dan pemerintah Belanda masuk di wilayah Paniai, sekitar tahun 1930-an. Suku Mee hidup dan merasa bahwa tidak ada orang lain, selain suku Mee, maka mereka berupaya berbagai cara untuk mempertahankan eksistensinya sebagai manusia sejati. Dimana mereka telah mengenal, tujuh jenis unsur-unsur kebudayaan dan tiga jenis wujud kebuyaan [Konetjaraningrat, [2002] dalam Pekei, 2008:69]. Batu pakaikeda, adalah salah satu wujud warisan budaya orang Mee, dengan berbagai bentuk benda [batu, kayu, pigu, dogi, obai, ida, ipa, manik-manik]. Dan dapat disebut sebagai wujud kebudayaan orang Mee [Konetjaraningrat, 2002:2]. Kelima, Yamewa sebagai tempat mencari keselamatan [ayi tai ubai owapa]. Dalam kehidupan suku Mee percaya akan yang ilahi terungkap dalam beberapa sebutan. Yoseph Tanimoyabi Bunai [2007] dalam buku “Mobu dan Ayii, Jalan Menuju Keselamatan Inisial dan Kekal Menurut Suku Mee di Papua, menyebutkan 7 [tujuh] jenis nama yang digunakan oleh orang Mee untuk menyebut Tuhan sebagai yang ilahi. Ungkapan kepercayaan akan ilahi itu diantaranya ugatame [pencipta], ipuwe me [pemilik], wadoo me [yang ada di atas], mee munetai me [pemelihara manusia], ayii me [penyelamat] ibo naitai [bapa maha besar] poya me [pribadi yang berkilau]. Cara yang dipakai untuk memperoleh keselamatan [ayii] dalam kehidupan suku Mee adalah prinsip dasar dimi, [pikiran, akal budi, kemauan]. Dimi/ dimi mana [pikiran dan perkataan] mengandung arti yang paling utama/ pertama sebelum mengambil keputusan, berbicara, berbuat, berjalan, atau sebelum melakukan segala hal. Untuk itu, adanya unsur filosofis yang mengatakan dimi pukika gaii [berpikir dengan kesungguhan akal budi], dimi puki ka dou [melihat dengan kesungguhan akal budi], dimi puki ka ekowai [berbuat dengan kesungguhan akal budi]. Atau lebih singkat disebut dou-gaii-ekowaii [melihat, berpikir dan melakukan]. Menghayati nilai-nilai hidup. Untuk mencapai ayii, diperlukan penghayatan terhadap nilai-nilai budaya yang telah diwariskan. Dalam kehidupan suku Mee baik secara pribadi maupun kelompok, ada 4 nilai-nilai fundamental dalam hidup yang bersumber dari dimi, yakni ipa, maa, enaimo, dan ideide. Ipa artinya rasa kasihan, kasih sayang, cinta kasih. Dalam bahasa umum disebut saling membantu atau tolong menolong, mengerti akan masalah orang lain dan sebagainya. Maa artinya sunggu, benar, percaya, yakin]. Seorang Mee akan mengatakan maa/ makodo, ketika dia sudah mengalami, merasakan, mendegarkan, dan melihat dengan mata kepala sendiri. Enaimo, artinya bersama. Kata ini mengungkapkan nilai kebersamaan, persahabatan, persatuan dan kesatuan, hidup bersama, saling melengkapi satu sama lain, bersama-sama mengatasi masalah. Dalam kehidupan suku Mee, kata enaimo, dibuktikan dalam pekerjaan yang berat.
 TUTUR oleh :MUTOPAI


Tidak ada komentar:

Posting Komentar