ASAL USUL MASYARAKAT PAPUA BARAT
Asal usul masyarakat Papua Barat berasal dari “MBUMUMBABA” di daerah SKYMBUKH VALEY-HIGHLAND PROVINCE-PNG. Dengan pola hidup NOMADEN sekelompok orang MBUMUMBABA berjalan ke arah barat Pulau Papua. Tibalah mereka di BATAM, kemudian berkembang ke Ubrub-Oksibil-Abmisibil dan tiba di Lembah Balim dan menerap di Goa Besar Pasema Seima. Mereka beranak biak di Goa besar itu, hingga pada suatu saat menyebar ke arah Barat (penyimpan sejarah asal-usul Bangsa Papua Barat, M. Mebubugime Kobogau, enarotali, 1956).
Budaya adalah suatu cara hidup, tingka laku, cara berbicara dengan cara berpakaian yang diwariskan turun-temurun oleh nenek moyang suatu suku. Di Papua banyak terdapat berbagai macam suku. Berbagai suku menanpilkan keunikannya masing-masin salah satunya adalah suku Ekagi atau suku Mee. Mee artinya Manusia sejati. Jadi suku Mee ini mempunyai ciri-ciri khusus, yaitu berkulit coklat, berambut keriting, mempunyai budaya sendiri. Mereka mempunyai nilai-nilai sendiri. Masyarakat suku Mee juga memiliki berbagai macam kebudayaan, kesenian, adat istiadat, dan arsitektur-arsitektur.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana sejarah atau asal-usul suku Ekagi/Mee?
2. Bagaimana letak geografis dari suku Ekagi/Mee?
3. Bahasa apa yangdigunakan suku Ekagi/Mee?
4. Bagaimana mata pencaharian suku Ekagi/Mee?
5. Bagaimana sistem pengetahuan suku Ekagi/Mee?
6. Bagimana sistem teknologi suku Ekagi/Mee?
7. Bagaimana sistem kekerabatan suku Ekagi/Mee?
8. Bagaimana sistem kepercayaan suku Ekagi/Mee?
9. Bagaimana sistem kesenian suku Ekagi/Mee?
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui sejarah atau asal-usul suku Ekagi/Mee
2. Untuk mengetahui letak geografis dari suku Ekagi/Mee
3. Untuk mengetahui bahasa apa yangdigunakan suku Ekagi/Mee
4. Untuk mengetahui mata pencaharian suku Ekagi/Mee
5. Untuk mengetahui sistem pengetahuan suku Ekagi/Mee
6. Untuk mengetahui sistem teknologi suku Ekagi/Mee
7. Untuk mengetahui sistem kekerabatan suku Ekagi/Mee
8. Untuk mengetahui sistem kepercayaan suku Ekagi/Mee
9. Untuk mengetahui sistem kesenian suku Ekagi/Mee
1.Sejarah atau Asal-usul suku Ekagi/MEE
Sejarah asal usul suku Mee bahwa suku Me ini datang dari lembah Baliem (Pagimo Peku) kurang lebih 900 tahun lalu, kira-kira di tahun 1100. Pagimo peku berarti bahwa Lembah Baliem yang dulunya Danau. Suku-suku lain ke arah Barat ketika lembah itu digenangi air.
Ketika suku Mee ke Paniai, mereka tidak hanya satu kelompok, tetapi terdiri dari banyak kelompok atau rombongan. Ketika Pam (marga) Gobay –Tebay- Kudiay- dan Pekey ke Paniai itu, penunggu yang tinggal di Danau Ballim yang kering tadinya itu menjadi danau sampai sekarang, Danau Balliem menjadi lembah balliem sampai sekarang.
Mereka tiba di Tigipa/Homeo dan ikut kali Degeuwo dan tiba di Siriwo kemudian kembali ke Paniai dan tiba di Deyatei. Mereka harus buat perahu untuk pergi ke Timur dan mereka membuat perahu dari kayu Moane, dan berdayung ke Timur sehingga tiba di Dagouto. Ke-4 laki-laki turun ke darat untuk mencari tempat tinggal mereka dan saudara perempuan mereka tetap tinggal di perahu sambil menjaganya.
Setelah beberapa hari kemudian, ke-4 saudara laki-laki itu kembali memanggil saudari mereka dan tiba di Dagouto. Lembah besar itu telah menjadi air, mereka memanggil dia, berkata saya telah mengambil tempat disini.
Mee artinya Manusia sejati. Jadi suku Mee ini mempunyai ciri-ciri khusus, yaitu berkulit coklat, berambut keriting, mempunyai budaya sendiri. Mereka mempunyai nilai-nilai sendiri.
2. Letak geografis
Suku Mee bukan “Nomaden” yaitu hidup dengan berpinda-pinda, tetapi suku Mee memiliki keteraturan hidup dari turun-temurun. Tempat-tempat yang didiami, mereka percaya bahwa tanah itu dimiliki oleh Ugatamee. Mereka mengerti bahwa mereka ditempatkan oleh Tuhan. Mereka hidup di sekitar danau Paniai, Tigi, Kamu, Mapia, Ororodo dan Topo/Nabire. Dan bukan itu saja, mereka memiliki gunung-gunung dan lembah-lembah dimana mereka mencari mata pencaharian. Masyarakat suku Mee disekitar itu hidup dari berkebun beternak, berburu dan menangkap udang di Danau dan Kodok di Kali.
Suku Mee mendiami di Pegunungan Tengah di bagian barat, dengan batas-batas, yaitu:
a. Bagian Timur berbatasan dengan suku Moni dan Amungme
b. Bagian Barat berbatasan dengan suku-suku Kaimana
c. Bagian Utara berbatasan dengan suku Walani
d. Bagian Selatan berbatasan dengan suku Kamoro
3. Bahasa
Bahasa Mee (Mee Mana) adalah bahasa sehari-hari yang digunakan dikalangan suku Mee.
4. Mata pencaharian hidup
Masyarakat suku Mee pada umumnya memiliki satu istilah “Keitai/Ekowai” dalam kehidupan mereka. Keitai/ekowai merupakan suatu landasan hidup sosial yang dipegang teguh oleh masyarakat suku Mee sebagai motivasi bagi setiap orang untuk bekerja dengan sungguh-sungguh sesuai dengan dengan bidang pekerjaan yang ditekuninya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mata pencaharian masyarakat Mee pada umumnya adalah berkebun, beternak dan kegiatan lainnya yang digolongkan kedalam kealihan masing-masing individu. Menurut Manfred Chrisantus Mote, masyarakat suku Mee adalah masyarakat agraris yang hidup dari kegiatan bertani dan berternak. Makanan pokoknya adalah petatas (Notaa) dan keladi (Nomoo). Suatu keluarga etnis Mee, menimal memiliki dua buah lahan kebun petatas atau pun keladi. Pertimbangannya adalah jika mereka sedang mengerjakan sebuah kebun dan hasilnya belum tua, maka sementara itu mereka memanen hasil-hasil dari sebuah kebun yang lain.
Kepentingan pemenuhan kebutuhan makanan tersebut, mereka bekerja setiap hari. Dengan demikian, tidak bolah ada hari tanpa bekerja. Orang yang tidak bekerja, tidak boleh makan atau dilarang untuk makan hasil usaha orang lain, bahkan tidak diberi makan kepada orang yang tidak bekerja kebun, sebab ia tidak mau makan dan itu berarti tidak mau hidup, (Manfred Chrisantus Mote, 2013: 73). Pandangan ini memberikan dorongan bagi setiap individu agar terus-menerus bekerja dan berusaha untuk memenuhi kehidupannya secara mandari.
5. Sistem pengetahuan
Nota/dugi naine gapeko, tai/bugi ekowai, ekina naine gapeko, ekina muni, naapo naine gape, naapo wei dan lain-lain. Itulah beberapa kalimat yang disampaikan oleh orang tuah (Ayah) kepada anaknya yang tidak kerja sambil makan salah satu diantaranya yang disebutkan diatas. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan suatu dorongan dalam diri anak tersebut agar ia dapat kerja kebun, pelihara ternak babi, dan juga pekerjaan lainnya. Dengan kata lain, jika orang tua menginginkan anaknya mempunyai kreatifitas dalam kehidupannya, maka harus pelit terhadap anak yang pemalas. Sedangkan anak yang rajin selalu diarahkan agar kreatifitasnya dapat ditingkatkan.
Selain dari itu, sistem pendidikan masyarakat suku Mee secara adat memiliki metode tersendiri dalam proses pembelajarannya. Metode yang dimaksud adalah pada saat memberikan pendidikan adat pria dan wanita dapat dipisahkan sehingga kaum wanita diajari oleh wanita yang lebih tua (mama), begitu juga kaum pria diajari oleh yang lebih tua (bapa). Materinya dimulai dari kasih sayang terhadap orang tua, norma-norma yang berlaku dalam kehidupan sosial sampai dengan kemandirian hidup. Dan dapat disesuaikan dengan perkembangan umur anak.
Disisi lain, pendidikan secara lisan itu juga disampaikan dalam banyak bentuk, seperti yang dikatakan oleh (Manfred Chrisantus Mote, 2013, iv) yakni melalui cerita, dongeng, mitos, hikayat, pantun, atau dalam bentuk lagu, seperti Uga, totauga, komauga, kotekauga, bedouyouga, yametegauwa, tuupe, gawai dan gaupeuga. Lainnya dalam bentuk nasehat, wasiat dan dalam bentuk perumpamaan dan perbandingan, pepata dan teka-teki. Dengan pendidikan seperti itu, anak dapat dilatih untuk menganalisis dan menangkap makna yang terkandung didalam. Dengan kata lain, bukan hanya sebatas mendengar dan menetahui alur ceritanya saja, melainkan menganalisis apa makna di balik itu.
6. Sistem Teknologi
Teknologi asli masyarakat Yah’ray amat sederhana dan mereka terkenal sebagai masyarakat yang suka bekerja keras. Alat-alat utama (tradisional) mereka terbuat dari batu seperti yika (kapak batu) dan yoda/kopa.
Masyarakat Mee juga memiliki berbagai macam arsitektur sebagai berikut :
a. arsitektur rumah tradisional
Ada 7 (tujuh) Tipe arsitektur rumah tradisional diantaranya adalah
(1) Yame Owa
Secara harafia Yame artinya laki-laki Owa artinya rumah. Yame Owa artinya (Rumah tinggal laki-laki). Rumah ini dibangun untuk tempat tinggal laki-laki dalam suatu kampung. Semua bangunan (Yame Owa) yang di bangun dengan pertimbangan-pertimbangan khusus.
Fungsi rumah Yame Owa bukan hanya merupakan suatu tempat tinggal laki-laki. Tetapi dalam rumah ini terjadi berbagai macam aktivitas yang perlu dilakukan oleh laki-laki secara turun-temurun. Selain sebagai tempat tinggal laki-laki, Yame owa adalah pusat komunikasi dan informasi aktual, tempat menyelesaikan persoalan (perang, maskawin), tempat menyimpang alat-alat perang (panah) pusat pembuatan alat perkebunan dan alat kesenian. Dan tempat mendapatkan pengetahuan, pengalaman, dan nasehat bagi semua laki-laki sejak usia 4/5 tahun.
Tidak ada ukuran standar yang diturunkan oleh nenek moyang. Tetapi dibangun dengan perkiraan atas kebutuhan akan ruang dan penghuni. Cara menentukan ukuran bangunan adalah dengan mengukur dengan tangan (jari-jari) atau kaki. Cara lain adalah memperkirakan dengan ukuran tinggi manusia dengan tinggi bangunan. Ukuran bangunan ini, yang telah dibangun adalah Panjang ±350cm. Lebar ±300cm. Tinggi lantai ±60cm. Dinding±150-200cm. Kemiringan Atap ±150-300. Ketinggian atap ±100-130cm.
Bahan bangunan yang dipakai pada Yame Owa adalah untuk penutup atap menggunakan kulit kayu. Panjang pohon ini diperkirakan sekitar ±30.000cm-50.000cm. Diameter pohon ini sekitar 30 – 70 centi meter. Ketebalan kulit kayu ini adalah 0,3 cm. Panjang ukuran yang sering dipakai untuk penutup atap adalah ± 60 - 200 cm. Panjang ini bukan standar yang dipakai, namun ditentukan serat pohan itu sendiri.
Jenis bahan yang di pakai untuk struktur bangunan adalah berupa tiang-tiang pancang. Pada dinding bangunan mempunyai tiga lapisan yaitu lapisan pertama dinding luar mengunakan tiang-tiang, lapisan kedua kulit kayu dan lapisan ketiga menggunakan papan cincang. Bahan yang dipakai untuk lantai terdiri dari tiang pondasi panggung, balok induk (mutaidaa), balok anak (yokaa mutaida), deretan kayu buah yang berukuran kecil yang di ikat dengan balok anak. (katage). Selanjutnya adalah lapisan paling atas yaitu kulit pohon kelapa hutan.
(2) Yagamo Owa
Secara harafia kata Yagamo artinya perempuan Owa artinya rumah, Yagamo Owa artinya (Rumah tinggal perempuan). Fungsi rumah Yagamo Owa bukan hanya merupakan suatu tempat tinggal bagi perempuan, tetapi dalam rumah ini terjadi berbagai macam aktivitas yang dilakukan oleh perempuan secara turun-temurun. Selain sebagai tempat tinggal perempuan, fungsi lain dari Yagamo Owa adalah pusat komunikasi dan informasi aktual, serta tempat proses belajar bagi anak-anak perempuan. Tempat menyimpang alat-alat perkebunan (yadokopa), pusat pembuatan alat penangkap ikan.
Ukuran bangunan Yagamo Owa, adalah panjang 350cm. Lebar 300cm. Tinggi lantai ±60cm. Dinding ±150- 200 cm. Kemiringan atap ±150-300. Ketinggian atap ±100-130cm.
Bahan bangunan yang dipakai pada Yagamo Owa, untuk penutup atap menggunakan daun pandang dan alang-alang serta beberapa jenis bahan penutup atap lainnya. Penggunaan jenis bahan penutup atap ini disesuaikan dengan ketersediaan bahan di sekitarnya. Pada umunya, bahan penutup atap Yagamo Owa adalah yage dan widime. Kedua jenis bahan ini mampu bertahan sampai berpuluhan tahun. Secara struktural bangunan, Yagamo Owa hampir sama dengan Yame Owa. Namun, yang membedakan adalah pada ornamen-ornamen san bahan yang digunakan.
(3) Tii-Daa Bega Owa (Rumah Honai)
Secara harafiah tii-da bega owa artinya sebuah bangunan yang membentuk gunung yang mempunyai ujung yang tajam. Fungsi bangunan ini adalah dua yaitu difungsikan untuk tempat tinggal laki-laki dan tempat perempuan. Selain itu fungsi lain adalah tempat menyimpan barang-barang berharga dari laki-laki ataupun perempuan. Lokasi bangunan ini berada di kampung-kampung, namun jarang di bangun dengan alasan bahwa rumah honai adalah rumah adat suku Dani (Wamena). Tetapi ada perbedaan yang dapat dilihat adalah ketinggian bangunan. Dimana bangunan rumah honai suku mee lebih tinggi dari pada dani (wamena). Bahan yang digunakan untuk memdirikan banguan ini adalah sama dengan bangunan lain yang ada di suku mee. Tetapi pada bagian penutup atap menggunan alang alang. Selain itu pada rangka atap banyak menggunakan kayu buah. Pada setiap dinding hanya mengunakan satu lapisan dinding. Sehingga pada malam hari terjadi kedinginan.
Ukuran bangunan ini adalah tinggi lantai 60cm, tinggi dinding 150-200cm, tinggi atap ± 100cm, lebar ± 250-300cm, panjang ± 250- ±300m. Bentuk bangunan ini sama dengan lingkaran dengan besar diameter ±250-300cm.
(4) Yuwo Owa
Secara harafiah dapat diartikan bahwa Yuwo artinya pesta Owa artinya rumah, sehingga rumah ini sering disebut rumah pesta adat suku Mee. Bila dipandang dari segi aktivitas dalam rumah ini, memiliki banyak “nama”. Aktivitas yang dilakukan pada saat puncak pelaksanaan pesta adat, sebelum aataupun sesudah sangat berfariasi.
Fungsi bangunan ini adalah pertama, tempat melakukan jual-beli dengan cara balter dan uang tradisional (kulit kerang). Kedua, tempat mencari jodoh, saat melakukan pesta adat laki-laki dan perempuan saling tukar gelang atau kalung sebagai tanda ungkapan cinta. Ketiga, tempat hiburan malam. Satu minggu satu kali mereka tentuykan sebagai malam hiburan, untuk mengekspresikan seni tari maupun seni suara dalam rumah ini. Untul mendirikan rumah ini perlu pertingan secara matang. Bangunan ini adalah bangunan yang paling besar yang dibangnun oleh suku Mee.
Ukuran bangunan ini adalah tinggi lantai ±40cm, tinggi dinding ±200cm, tinggi atap 150cm, lebar bangunan 1.300cm, panjang bangunan ± 2.100cm.
Bahan yang digunakan untuk mendirikan bangunan ini adalah sama dengan bahan bangunan lainya. Tetapi pada bagian penutup atap menggunakan daun pandang. Selain itu pada rangka atap banyak menggunakan tiang-tiang. Pada setiap dinding hanya mengunakan satu lapisan dinding (papan cincang). Sehingga pada malam hari terjadi kedinginan. Bentuk banguan ini sama dengan lain yaitu persegi empat.
(5) Daba Owa (Rumah Pondok)
Secara harafia kata Daba artinya Daba kecil Owa artinya rumah, Daba Owa artinya (Rumah pomdok kecil). Rumah pondok di bangun di kebun hutan.
Fungsi rumah Daba Owa bukan hanya merupakan suatu tempat istirahat pada siang hari, tetapi dalam rumah ini terdapat banyak fungsi yang meliputi pertama, tempat masak-masak hasil kebun. Kedua, tempat menyimpan kampak/ parang, alat-alat perkebunan, dan alat-alat perburuan. Ketiga, tempat berlindung dari hujan dan panas sinar matahari. Keempat, tempat menjaga binatang liar agar tidak mencungkil tanaman.
Ukuran bangunan Daba Owa, adalah panjang ±250cm. Lebar ±200cm. Tinggi dinding ±150-200cm. Kemiringan atap ± 150-300. Ketinggian atap ± 100-130cm.
Bahan bangunan yang dipakai pada Daba Owa, untuk penutup atap menggunakan daun pandang,alang-alang dan kulit kayu. Penggunaan jenis bahan penutup atap ini disesuaikan dengan ketersediaan bahan di sekitarnya. Secara struktural bangunan, Daba Owa tidak sebanyak lapisan seperti Yame Owa dan Yagamo Owa. Struktur dinding Daba Owa hanya satu lapisan. Deretan tiang-tiang yang membentuk dingding ini, juga berfungsi sebagai struktur utama bangunan ini.
(6) Ekina Owa (Kandang Babi)
Babi merupkan jenis binatang piaraan yang sangat berharga dalam kehidupan suku Mee. Sehingga untuk menjaga agar babi itu tetap hidup dalam kandang yang aman dan nyaman maka dibangun sebuah rumah (kandang) sendiri. Bagi orang Mee babi merupakan salah satu penentu status sosial dalam kehidupan masyarakat, yang sering disebut tonawi. Seseorang bisa dikatakan tonawi karena dia memiliki kekayaan (babi banyak) dan mempunyai istri yang banyak serta mempunyai atau mengetahui hal-hal mistik.
Fungsi rumah ini adalah tempat tinggal/ kandang babi. Menurut cerita mitos, manusia (orang mee), hidup bersama dengan ekina dalam satu rumah. Sekarang lokasi rumah ini berada di pingir atau di dekat rumah laki-laki atau perempuan. Jarak antara rumah tinggal dengan ekina owa di batasi oleh pagar (wee eda). Ukuran bangunan ini adalah sekitar 1-2 meter, ukuran ini sangat berfariasi. Dan di tentukan oleh jumlah babi yang di milikinya.
Bentuk bangunan ini sama dengan bentuk-bentuk bangunan lain, yaitu persegi empat. Pada atap bangunan menggunan bentuk atap pelana, tetapi hanya sebagian.
Bahan-bahan yang di pakai untuk membangun rumah ini meliputi untuk struktur utama dan pendukung adalah kayu. Bahan penutup atap adalah kulit kayu dan alang-alang. Untuk pengikat antara struktur utama, pendukung maupun penutup adalah rotan dan beberapa jenis tali.
(7) Bedo Owa (Kandang Ayam).
Orang Mee sampai saat ini meyakini bahwa ayam merupakan binatang piarahan pendantang, karana belum terdapat di daerah Paniai. Namun demikian, pada saat ini yaitu sekitar tahun 1970-an ayam dipelihara sebagai salah pemberi protein bagi tubuh manusia. Ayam hadir di daerah atas bantuan pemerintah dan di bawah dari luar daerah ini.
Sesuai dengan nama rumah ini, fungsinya adalah kandang ayam. Dalam rumah ini orang Mee memelihara ayam. Ayam-ayam akan tinggal dalam rumah ini hanya pada malam hari. Karena pada siang hari ayam-ayam tersebut berkliharaan di pinggir rumah atau kebun dekat ruamh tinggal. Sistem pemeliaraan ini memberikan kesempatan pada burung-burung pemakan daging misalnya elang untuk membunuh anak ayam.
Saat ini orang Mee mengetahui dan membedahkan bagaimana mendirikan sebuah rumah untuk kandang ayam ataupun bebek, atau jenis binatang piaraan lainya. Akan tetapi sampai saat ini belum mengenal cara dan sistem pemeliharaan yang baik dan benar.
Bentuk bangunan ini sama dengan bentuk-bentuk bangunan lain, yaitu persegi empat. Pada atap bangunan menggunan bentuk atap pelana, tetapi hanya sebagian. Ukuran kandang ayam ini, memiliki panjang ±200cm, lebar ±200cm.
Bahan-bahan yang di pakai untuk membangun rumah ini meliputi untuk struktur utama dan pendukung adalah kayu. Bahan penutup atap adalah kulit kayu dan alang-alang. Untuk pengikat antara struktur utama, pendukung maupun penutup adalah rotan dan beberapa jenis tali.
b. Arsitektur Pagar Tradisional
Pagar merupakan suatu elemen arsitektur yang di gunakan untuk melindungi kenyamanan dalam rumah maupun kebun. Ada dua fungsi utama pagar bagi orang Mee adalah; pertama memagari rumah tinggal entah itu rumah tinggal laki-laki atau rumah tinggal perempuan. Kedua mengelilingi kebun agar babi atau pencuri tidak masuk kedalam kebun.
Ada tiga jenis pagar yang di buat oleh masyarakat suku Mee yang di bedakan menurut bentuk, kualiatas bahan yang digunakan, ukuran, dan cara pembuatan dari setiap pagar yang ada diantaranya:
1) Wee eda
Wee eda adalah pagar ini di tanam secara vertikal. Secara kualitas bahan, bila di banding dengan kedua jenis pagar, maka pagar ini memiliki kualitas yang cukup tinggi. Pemilihan jenis pohon untuk pagar ini tidak sembarang. Telah di tentutukan beberapa jenis pohon untuk membuat pagar. Jenis pohon yang pakai untuk membuat pagar ini antara lain, Yewo (kayu besi), Digi/ Didame, Obai, Duigi, Amo.
Selain kualitas bahan yang memiliki tingkat ketahanan yang cukup lama, pagar jenis ini juga sumber pendapatan uang (mege). Apabila suatu pohon ketika di tebang atau di belah keras maka jenis pohon ini memiliki kualitas ketahanan yang baik.
Pagar ini berfungsi sebagai, pertama pembatas tanah leluhur/ kebun, kedua pembatas rumah dengan rumah, ketiga mengelilingi kebun agar babi tidak mencungkil makanan. Keempat mendirikan kandang ayam (bedo owa) atau babi (ekina owa).
Lokasi pagar ini biasanya di dataran rendah, terutama untuk kebun-kebun di sekitas rumah. Untuk kebun hutan (kebun yang di buat dengan membersikan, menebang pohon disekitarnya) jarang di gunakan jenis pagar ini. Umumnya pagar ini di gunakan untuk memagari rumah dengan kebun di sekitar rumah yang terdapat banyak keliaran babi di sekitarnya.
2) Petu Eda (Pagar Horinsontal)
Secara kualiatas bahan pagar ini masig lebih rendah dibanding wee eda. Tidak tahan lama, karena menggunkan kualitas bahan rendah. Ukuran pagar lebar±2cm, panjang ±200-300cm. Bentuk pagar ini adalah merupakan susunan papan yaang disusun dari bawah keatas. Papan-papan ini diikat pada pagar yang ditanam secara vertikal. Pagar ini muda di buat, sehingga waktu pengerjaan membutuhkan waktu relatif singkat.
Pagar ini, dibuat pada lokasi tertentu yang ditentukan dari lingkungan sekitrarnya. Misalnya, kebun hutan (bukit), lembah. Pemilihan pagar jenis ini, yang digunakan pada kebun hutan dan lembah dengan pertimbangn. Pertama, mudah mendapat bahan untuk membuat pagar. Kedua, jenis pagar yang bersifat sementara. Ketiga muda disesuaikan dengan kontur tanah. Keempat, proses pengerjaan dan pembuatan yang muda dan gampang.
3) Tege Eda (Pagar Tiang)
Pagar jenis ketiga yang dibuat oleh masyakat suku Mee adalah tege eda. Secara kualitas bahan, serta ketahanan terhadap iklim sekitar sangat relatif singkat. Bahan pembuatan pagar ini, diambil dari kayu yang masih muda (baru tumbuh). Masyarakat Papua menyebut kayu buah.
Pagar ini digunakan untuk mengelilingi kandang ayam. Tetapi, biasa digunakan untuk mengelilingi kebun atau rumah. Ukuran ketinggiannya lebih tinggi.
c. Arsitektur Jembatan Tradisional
1. Goo Koto(Jembatan Gantung)
Jembatan ini merupkan jmbatan sangat panjang. Fungsi jembatan ini adalah menyebragi ke kebun hutan atau luar kampung. Bentuk jembatan ini adalah model jembatan gantung. Namun yang menjadi persoalan atau bahaya adalah ketika menyebrang jembatan ini jatuh, maka manusia tersebut tidak di selamatkan, karna hanyut dalam air.
2. Koma Koto (Jembatan Model Perahu)
Jembatan model perahu karana bentuk dan cara pembuatan jembatan ini seperti perahu tradisional. Panjangnya jembatan ini ditentukan dari besar kecilnya kali atau sungai. Membuat jembatan ini, di buat di hutan seperti perahu tradisional. Kualitas bahan (kayu yang dipakai) adalah kayu besi (yeewo piya. Jenis kayu ini adalah salah satu jenis kayu yang kuat dan besar. Panjang satu pohon mencapai 70-100meter.
3. Tege Koto (Jembatan Tiang)
Tege koto artinya jembatang tiang karena hampir semua kayu yang dipakai adalah tiang. Bahan-bahan untuk membuat jembatan ini dipilih beberapa jenis kayu berdasarkan kuliatas kayu. Kayu yang digunakan untuk jembatan ini adalah amoo piya, digi piya, yegou dan beberapa jenis kayu yang dianggap kuat dan bertahan terhap air.
Pada zaman dulu, pengikat antar tiang-tiang pada struktur utama, tiang penyangga maupun struktur pendukung adalah tali. Jenis tali yang dipilih adalah rotan dan beberapa jenis tali laninnya. Sesuai degnan perkembangan zaman, saat dapat sangat terlihat beberapa rumah pagar dan jembatan menggunkan paku dan kabel atau kawat besi.
4. Piyauti Koto (Jembatan Darurat)
Jembatan darurat ini di buat pada saat air sungai pasang. Letak jembatan ini adalah di hutan karena memang di gunakan hanya untuk menyebrang saat air sungai banjir. Jembatan ini juga model perahu, namun bisa dikatakan jembatan darurat sebab sering terjadi banyak banjir saat musim hujan.
7. Sistem kekerabatan
Kehidupan masyarakat suku Mee tidak terlepas dari jiwa sosial atau rasa empati dan saling menghargai terhadap sesama manusia. Mereka (masyarakat Mee) secara turun temurun, tidak membiarkan sesama yang lain menderita, lapar, susah dan sakit. Hal ini membuat masyarakat Mee bersatu dalam menghadapi persoalan yang timbul dari dalam maupun luar. Dengan kata lain, masyarakat Mee memiliki budaya kolektifitas, empati, humanis dan religius.
Suatu idealisme yang sangat konkrit dan nyata untuk menjadi seorang manusia yang diakui, dihargai, dihormati dan dikagumi yang pertama harus diperbuat dan perlihatkan adalah kebaikan dan kebenaran bersikap. Jikalau hal pertama ini telah ditunaikan, maka hal-hal lain akan datang menyusul. Menjadi diri sendiri adalah idealisme utama leluhur, (Manfred Chrisantus Mote, 2013). Berdasarkan idealisme ini, leluhur memiliki perspektif dalam kehidupannya bahwa harus menjadi yang pertama dalam menolong dan membantu orang-orang atau sesama yang benar-benar membutuhkan bantuan uluran tangan dari orang lain.
8. Sistem kepercayaan
Suku Mee meyakini bahwa ada sesuatu yang membuat, menulis dan menciptakan segala-galanya. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan atau penyebutan “Ugatamee” secara turun-temurun. Ugatamee (pribadi yang menulis), Ebiyatamee/Komugayawitamee (pribadi yang menciptakan),Ipabokoutomee (pribadi yang penuh kasih) dll. Dengan demikian, orang Mee meyakini bahwa ada pribadi yang menuliskan, menciptakan dan memberikan segala-galanya dalam kehidupan mereka.
Berdasarkan keyakinan tersebut, suku Mee menjalani kehidupannya atas dasar ajaran yang bersumber dariUgatamee yang kemudian dalam bahasa Mee disebut Kabomana, Touyemana(ajaran dasar) yang diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai fondasi hidup dan diwariskan secara turun-temurun.
Suku Mee, mengakui bahwa Ugatamee (Allah pencipta) bertakhta diatas langit biru, mengawasi segala ciptaanNya di bumi. Mereka menaati 10 hukum Musa. Sebelum Alkitab dibawah oleh para Misionaris, mereka telah mengenal dan melakukan 10 hukum seperti juga yang dituliskan dalam hukum Alkitab, yaitu:
1. Akaitai, Akukai ibo eyaikai (hormatilah ayahmu dan ibumu)
2. Me tewagi (jangan membunuh)
3. Mogai Tetai (jangan berzinah)
4. Oma temoti (jangan mencuri)
5. Puyamana tewegai (jangan bersaksi dusta)
6. Meka yagamo, kibigi tegai (jangan mengingini istri sesamamu)
7. Meka yame kigibi tegai (Jangan mengingini suami sesamamu)
8. Meka owa kigibi tegai (jangan mengingini rumah semamamu)
9. Meka tai kigibi tegai (jangan mengingini kebun sesama)
10. Meka muniya agiyo kigibi tegai (jangan mengingini lembuh atau sapi sesamamu).
9. Sistem Kesenian
Tarian adat pun tidak terlepas kehidupan setiap suku bangsa di planet bumi ini yang diperbaharui sesuai dengan perkembangan zaman yang semakin mengarahkan masyarakat ke ambang kehancuran, akibat pengaruh global. Begitu juga dengan konteks kehidupan masyarakat suku Mee. Ada beberapa tarian yang dimiliki dan diwariskan secara turun-temurun. Tarian yang dimaksud antara lain, seperti emaida (yosim), gaupe uga (pemberian nama), tegauwa, dll.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah asal usul suku Mee bahwa suku Me ini datang dari lembah Baliem (Pagimo Peku) kurang lebih 900 tahun lalu, kira-kira di tahun 1100. Pagimo peku berarti bahwa Lembah Baliem yang dulunya Danau. Suku-suku lain ke arah Barat ketika lembah itu digenangi air. Mee artinya Manusia sejati. Jadi suku Mee ini mempunyai ciri-ciri khusus, yaitu berkulit coklat, berambut keriting, mempunyai budaya sendiri. Mereka mempunyai nilai-nilai sendiri.
Suku Mee bukan “Nomaden” yaitu hidup dengan berpinda-pinda, tetapi suku Mee memiliki keteraturan hidup dari turun-temurun. Tempat-tempat yang didiami, mereka percaya bahwa tanah itu dimiliki oleh Ugatamee. Mereka mengerti bahwa mereka ditempatkan oleh Tuhan. Mereka hidup di sekitar danau Paniai, Tigi, Kamu, Mapia, Ororodo dan Topo/Nabire. Sama seperti suku- suku lainnya, suk mee, memiliki kebudayaan, kepercayaa yang mereka anut dan mereka jaga hingga saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar