The Indonesian law is no longer applicable to Christian churchs in west Papua
The Indonesian law is no longer applicable to Christian churchs in west Papua because the people of Papua have perceived unfair actions in the form of Indonesian law, and now they perceived as detrimental to a minority Christians of west papua Although, they are obedient to the law of indonesia and repeal the appeals on the grounds that do not want to continue a protracted conficion of potential Causing this nation to be constantly volatile and could have resulted in a civil war,islamic and christian war like what happened in some countries in the Middle East there.
Then what about the supporters of Christians around the world to stop this acting in the form of insulting the Christian religion in west papua because Indonesian soldiers burned the holy book of the Bible in the road because it is the god's voice ever leads the human life in the right direction in the past , now, and one day....
Jumat, 26 Mei 2017
Kamis, 25 Mei 2017
SEJARAH GEREJA KINGMI KOORDINATOR DEIYAI
SEJARAH GEREJA KINGMI KOORDINATOR DEIYAI
A. LATAR BELAKANG
Tahun 1880-an Pdt. DR. Albert Benyamin Simpson adalah seorang Pendeta Gereja Presbiterian dari Kanada pindah ke New York sebagai pendeta gereja tersebut. Aturan Gereja Presbiterian adalah Penjaga kebersihan gedung gereja lebih utama dari pada keselamatan jiwa manusia. Dan orang-orang Indian adalah orang asli Amerika yang hidup terlantar tanpa gembala. Pdt A.B. Simpson merasa terbeban bagi kaum yang tertindas sehingga Simpson menginjili orang-orang Indian dan mengumpulkan 100 orang. Gereja Kemah Injil lahir dari orang-orang Indian yang miskin.
Penglihatan A.B. Simpson : semua suku bangsa penjuru dunia memanggil Dia katanya “Mari tolonglah kami”. A.B. Simpson membuka Sekolah Teologi di Amerika untuk mengkaderkan tenaga-tenaga Misi sesuai dengan kebutuhan pelayanan di dunia.
Tahun 1928 Pdt. Dr. Robert Aleksander Jafray beserta rombongan datang ke Indonesia. Tempat pelayanan yang strategis menjadi pusat pelayanan di Indonesia adalah Makasar (Ujung Pandang) yaitu : Pusat Pekabaran Injil; pusat pendidikan dan pusat tokoh buku kalam hidup.
Tahun 1936 seorang pilot Belanda yang bernama Letnan Komandan F.J. Wisel adalah penemu danau Tigi, Tage dan Paniai melalui survey udara. Hasilnya melaporkan kepada misi CAMA dan misi Katolik Pusat.
Setelah itu, Pdt. Dr. Robert Aleksander Jafray meninjau pulau New Guinea dari Fakfak, bertemu dengan Dr. W. Cator yang baru pulang dari pedalaman New Guinea atau Paniai katanya bahwa“suku bangsa yang tinggal di pedalaman New Guinea ini sekalipun tidak mendapat pendidikan formal namun daya pikirnya tidak kala dengan suku bangsa lain”.
Tahun 1938 misi CAMA berkonferensi di Malino (Sulawesi), hasilnya ditawarkan dan diputuskan bahwa ditempatkan dipedalaman Irian Jaya. Pdt. Walter Post dan Pdt. Russel Deibler dan rombongannya menuju kearah timur pantai selatan Papua dengan memakai kapal laut dan tiba di kali UTA muara kali Yawei, bulan Desember 1938. Pelabuhan UTA merupakan pintu masuk Injil di Tanah Papua.
Setelah mereka tiba di pelabuhan UTA Pdt. Walter Post kembali ke Makassar karena lupa sepatu yang cocok memakai untuk mendaki gunung.
Pdt. Russel Deibler, orang-orang Suku Dayak (orang Kalimantan Gunung) dan Pemerintah Hindia Belanda berjalan kaki menembus hutan tropis, mendaki gunung-gunung, menurun lembah dan menyeberang sungai sampai tiba di Adaikunu bertemu dengan“Bpk Nikayaitawi Yine” telah menggenapi penglihatan misi Allah bahwa “Tibiikapai meitagi”artinya manusia kulit putih akan datang. Nikayaitawi Yine dan masyarakatnya menerima mereka dengan hati terbuka dan makan bersama-sama.
Rombongan Pdt. Deibler tiba di Woyakouda ketemu dengan beberapa masyarakat Bomou antara lain Makidaitawi Pekei, Kopaade Pakage, Todoyade Giay dan Pekamoye Pekei, pada saat mereka sedang mencari Kulit Genemo atau Damiyo.
Perjalanan mereka berjalan terus sampai tiba di Ideego bertemu dengan ada beberapa tokoh masyarakat Piniibo dan Badokapa bersama rombongan makan jamuan bersama sambil tanam patok tanda untuk membangun gedung gereja.
Perjalanan mereka terus berjalan sampai tiba di Kokakotu (Epeiyako) bertemu dengan Bpk Yawetewode Pinibo dan Ekakoto Pinibo mengatakan bahwa “Akiki mei mega-mega, aniki tou mega-mega” Artinya “kamu pendatang, saya orang asli”.
Perjalanan mereka terus sampai di Kokobaya bertemu dengan Ibopade Pakage dan masyarakat sekitarnya dan Ibopade Pakage mempersembahkan seekor babi Betina kepada misi CAMA dan rombongannya, babi tersebut mereka masak dirumah Weyakebo Mote di Yaba.
Tanggal 13 Januari 1939 tiba di Enarotali. Tanggal tersebut adalahHari Injil Empat Berganda di Tanah Papua.
Dan selanjutnya rombongan Pdt. Walter Post dan Christian David Paksoal menempuh jalan melalui Kugiaidimi, Tenedagi dan Yaba, oleh karena itu daerah Tigi merupakan pintu Injil masuk dipegunungan Papua dan pesisir Pantai.
B. KRONOLOGIS HARI BERDIRINYA GEREJA KINGMI DI TANAH PAPUA
1. Tanggal 13 Januari 1939 adalah situs sejarah Kingmi di Tanah Papua
2. Tanggal 11 Januari 1951 adalah hari berdirinya Gereja Kingmi Koordinator Deiyai, Dogiyai dan sekitarnya
3. Tanggal 20 April 1954 adalah hari berdirinya gereja Kingmi Koordinator Jayawijaya dan sekitarnya
4. Tanggal 6 April 1962 adalah hari berdirinya gereja Kingmi di Tanah Papua
5. Tanggal 28 Juni 1963 adalah gereja Kingmi berdiri di pesisir pantai
C. PERKEMBANGAN GEREJA KINGMI KORDINATOR DEIYAI DAN SEKITARNYA
1. Masa pelayanan dibawah pengawasan dan pembinaan misi CAMA
Pada umumnya sejarah Pertumbuhan Kemah Injil Gereja Masehi Indonesia (KINGMI) Koordinator Deiyai dan sekitarnya sangat serius menerima Injil sebagai suatu pedoman hidup.
Daerah Tigi merupakan salah satu daerah asing disebutkan dalam Pembacaan Sejarah Gereja Kemah Injil di Tanah Papua.
Ditinjau dari sisi lapangan kerja dalam tahun 1939-1949, konsentrasi misi pelayanan CAMA hanya diprioritaskan disekitar danau Paniai dan daerah bagian timur (Moni), karena beberapa alasan, yaitu : yang pertama: Tenaga Penginjil masih kurang, kedua : karena pembagian wilayah kerja antara Misi Katolik dan Misi CAMA, ketiga : karena hati orang-orang Tigi dan sekitarnya masih belum siap untuk menerima Injil, sebab belum ada waktunya.
Berdasarkan pembagian wilayah pelayanan antara Misi CAMA dan Misi Katolik maka tahun 1939-1949 konsentrasi Misi Katolik (Pater Herman Tillermans menjangkau daerah Tigi). Beliau telah membukaLima (5) tempat persekolahan sebagai pusat pewartaan Injil seluruh wilayah sekitar Danau Tigi yaitu, Yaba, Waghete, Meyapa,Okomo dan Diyai.
Pada tahun 1947 Misi Katolik (Pater Herman Tillermans) pertama beberapa kali datang menawarkan Pos Pewartaan Injil, membuka persekolahan Katolik dan membuka lapangan terbang Cesna Ama batas Amago sampai dengan Akouda (Ikiya pugi). tapi masyarakat Bomou bersatu dan sepakat dibawah pimpinan tokoh masyarakat atau kepala suku David Kotouki dan Degemou Pekei menolak katanya kami akan menerima “AKI PATOGA PEKA KADI KIKO TEKA BUKAINE, WOOKA TEDING TUAPODITA PEKA BUGUMAIKA MEITAGI NAKI EBUKAITA”.
Tahun 1946-1949 kesepakatan antara Misi Katolik dan Misi CAMA diprakarsai oleh Pemerintah Belanda membagi wilayah pelayanan yaitu : Bagian Barat dan Selatan pelayanan Misi Katolik dan Bagian Timur dan Utara pelayanan Misi CAMA dan tanam patok batas pelayanan di Udadimi.
Pada Tahun 1948-1949 Hamba-hamba Tuhan pribumi yang selesai dari Sekolah Persediaan Alkitab Enarotali diantaranya adalah : Putes Pakage, Petrus Dogoopia, Yohanes Pakage, Tomas Adii,Luther Adii, Lukas Yeimo, Ishak Kotouki, Albert Giay, Yusuf Makai, dan Daan Adii. Mereka tidak ditugaskan secara Organisasi melainkan diutus secara survei tempat-tempat yang layak dibuka Pos Persekutuan Doa atau Sekolah Minggu dimasing-masing Kampung:
Pada Tahun 1949 Putes Pakage, Petrus Dogopia dan Salmon Pakage melakukan survei di Begapa bersifatSekolah Minggu. Yohanes Pakagesurvei dan membuka Pos Persekutuan Doa sementara di Damoti, lalu dipindahkan di Deneuto Dokoge. Pada waktu yang sama Tomeipiwode Giay dan Elisa Edoway juga mengumpulkan beberapa masyarakat disekitar Toputo Ipoupouda untuk bersaksi.
Pada tahun 1949 itu juga Bpk Zakheus Pakage dan Bpk Karel Gobay pulang dari sekolah Alkitab Makassar tiba di Paniai.
Bpk Zakheus Pakage merasa Pelayanan itu sangat penting dan terbeban maka Bpk Zakheus Pakage berani menghadap kepada Pemerintah Belanda untuk meminta ijin, katanya “PELAYANAN PEMBERITAAN INJIL TIDAK PERLU DIBATASI OLEH SIAPA PUN TETAPI BEBAS MENGINJILI DI DAERAH PANIAI”
Pada tahun 1949 Misi CAMA Tawarkan kepada Bpk Zakheus Pakage untuk tugaskan Pelayanan dibagian Daerah Timur (Paniai).
Tahun 1950 Bpk Zakheus Pakage mengajar Sekolah Alkitab di Enarotali dan melayani dibagian Timur (Daerah Moni).
Beberapa kali Bpk Zakheus Pakage menghadap kepada Pemerintah Belanda, Misi CAMA dan Misi Katolik namun tidak ditanggapi serius akhirnya Bpk Zakheus Pakage meminta dengan tegas bahwa “Kulit hitamku dikupas dan jadikanlah tubuhku menjadi kulit putih baru aku percaya, kalau tidak mampu saya tetap membuka Pos Pekabaran Injil didaerah Tigi”.
Pada bulan awal Oktober 1950 masyarakat Yibagouyoweta (Bomou III) bersama Kepala Suku Ipougai Pakage datang jemput Ogai Zakheus Pakage melayani masyarakatnya sendiri di Bomou, untuk mengajar misi social konteks budaya Mee dan suatu perubahan yang terjadi sehingga masyarakat Mee datang dari berbagai kampong untuk mempraktekan Injil melalui berkerja bersama. supaya
Dalam bulan November 1950, setelah dibatalkan batas pelayanan di Udadimi Bpk Zakheus Pakage ditempatkan di Bomou dan sekitarnya oleh Misi CAMA untuk memulai merintis daerah Tigi (Bomou), upaya Zakheus Pakage hidupnya sama seperti orang lain, sesuai dengan visinya “mengubah keadaan masyarakat dan menghadirkan nilai-nilai kerajaan Allah diantaranya : Zakheus Pakage mengatur masyarakat dengan baik, pembangunan masyarakat sebagai tanggung jawab bersama, berusaha kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan mutu kehidupan masyarakat bersama.
Gerakan Zakheus Pakage sangat cocok sesuai masyarakat setempat tapi ada anggota masyarakat bergabung dengan Misi CAMA, Misi dan Katolik Pemerintah Belanda menjulukan adalah “WEGEE BAGEE” atau kelompok perusak masyarakat, akibatnya Zakheus Pakage berulang kali keluar masuk penjara.
Pada tahun 1950an itu juga Misi Katolik terus menantang Misi CAMA dan Zakheus Pakage, sehingga Misi Katolik (Pater CAMMAMER) tanamkan patok di Oneibo dan di Buwoudimi, katanya “Di bagian Barat wilayah Kerja Misi Katolik dan bagian Timur wilayah kerja Zakheus Pakage dan Misi CAMA. Namun demikian Widiyaibi Giay dan Yamekabi Giay menentang tindakan itu, katanya, “Pater tidak berhak mengatur kami tetapi kami mengatur sendiri tanah dan batas wilayah pelayanan” akibatnya Pemerintah Belanda penjarakan tokoh-tokoh masyarakat selama 2 (dua) bulan di Waghete.
Dalam bulan November 1950 mengadakan rapat gabungan Misi CAMA dan Misi lokal dan luar dari Paniai dan Misi lokal pribumi bersepakat memulai pelayanan didaerah Tigi sesuai dengan kebutuhan.
Dalam rapat konferensi tersebut ditawarkan kepada hamba Tuhan yang bersedia untuk merintis daerah Baru yang pertama dirintis oleh Misi Katolik, akan tetapi semua hamba Tuhan baik Misi CAMA maupun Misi Lokal dan luar Paniai dan Misi Lokal Pribumi tidak bersedia merintis daerah baru (Tigi) dengan alasan, Pertama : Takut karena daerah baru, Kedua : Takut karena batas pelayanan Wilayah Misi Katolik.
Roh kudus menggerakkan hati seorang hamba Tuhan yakni : Pdt. Christian David Paksoal angkat tangan dari belakang dan berkata bahwa saya (Christian David Paksoal) bersama keluarga bersedia merintis daerah baru (Tigi) dan bersedia menanggung tantangan bersama dengan Zakheus Pakage didaerah baru yang pertama kali dirintis oleh Misi Katolik itu.
Waktu itu Bpk Zakheus Pakage mengucapkan syukur kepada Tuhan dengan mencucurkan air mata kedua bela pipi atas bersedianya Bpk Pdt. Ch. D. Paksoal merintis daerah Tigi bersama dengan Bpk Zakheus Pakage.
Pada tanggal 5 Desember 1950, Pdt. Christian David Paksoal dan Pdt.. Einer Mickelson datang ke Yibagouyoweta (Bomou III) menawarkan membuka Pos Pekabaran Injil, kita mulai buka di Yibagouyoweta (Bomou III) tetapi Bpk Zakheus Pakage katakan fasilitas yang cocok, tempat yang layak untuk membuka Pos Pekabaran Injil adalah di Bomou I (Yakagokebo) dimana pusat manusia (Mee bokouda) yang sekarang disebut Bethani Bomou I yang merupakan pusat penginjilan dibagian barat dan bagian selatan sampai pada daerah pantai.
Setelah satu, dua hari Pdt. Ch D. Paksoal dan Pdt. Einer Mickelson bersama Bpk Zakheus Pakage serta ada beberapa tokoh masyarakat Bomou I, Bomou II dan Bomou III datang melakukan survei tempat yang ditentukan yaitu Yakagokebo, lalu berdoa dan mengucapkan syukur kepada Tuhan sambil tanamkan patok.
Bpk Pdt. Christian David Paksoal dan Pdt. Einer Mickelson kembali ke Enarotali untuk mengikuti pesta Natal di Enarotali.
Pada bulan Januari 1951 Bpk Zakheus Pakage mengutus dua orang murid yaitu; Degamoye (Adolof pakage) dan Eniyamoye (Daud Kotouki). Eniyamoye (Daud Kotouki) katakana “Tindakan Iman kami menginjak batas wilayah Udadimi dalam nama Allah, Yesus dan Rohkudus.
Pada tanggal 11 Januari 1951 Pdt. Christian David Paksoal bersama keluarga tiba di Bomou, (Iputakaapa)membawa Peti Tabut Perjanjian.Setibanya sampai di (Iputakaapa) Yakagokebo, Ch. D Paksoal memberikan Tabut perjanjian tersebut ke tangan kedua murid Zakheus Pakage yakni Adolof Pakage, Daud Kotouki, sambil berkata bahwa“Ini Firman Yang Benar, Firman Yang Hidup memberikan kepada kamu, kepada semua orang Bomou dan sekitarnya jadi pegang baik, piara baik sampai bertumbuh dan berkembang”.
Tanggal 11 Januari merupakan Hari Ulang Tahun Gereja Kemah Injil Bethani Bomou I khususnya dan pada umumnya beberapa koordinator di wilayah Barat dan Selatan serta pantai Selatan.
Pelayanan Pdt. Ch. D. Paksoal dan Bpk Zakheus Pakage berkembang cepat namun pihak Misi Katolik menantang terus, maka kata Pdt. Ch. D. Paksoal bahwa keterbukaan hati masyarakat Bomou dan sekitarnya ada kerinduan besar untuk mendengarkan firman Tuhan, sudah terlihat bahwa masyarakat sambut positif setiap kali pemberitaan Injil. Oleh karena itu, keputusan untuk membuka Pos Pekabaran Injil mulai dari (Yakagokebo) Bomou I daerah Tigi adalah keputusan yang tepat dan dalam rencana Allah untuk dituai.
Pada tahun 1952 Thomas Adii usai Sekolah Alkitab melayani bersama dengan Paksoal dan Zakheus di Bomou (Yakagokebo).
Berdasarkan sikap Pdt. Ch. D. Paksoal Keputusan untuk membuka Pos Pekabaran Injil mulai dari (Yakagokebo) Bomou I adalah keputusan yang tepat dan dalam rencana Allah, maka tokoh-tokoh gereja atau hamba-hamba Tuhan dapat mengembangkan pelayanan didaerah Tigi, Debei, Kamuu dan Mapia.
Tahun 1952 Petrus Pakage, Petrus Dogopia dan Elisabet Pakage dan Salmon Pakage membuka Sekolah Minggu di Begapa, lalu persembahan dibawa ke jemaat induk Bethani Bomou pada saat ruang ibadah umum berlangsung.
Tahun 1953 Keluarga Putes Pakage dan Keluarga Petrus Dogopia membuka Pos Pekabaran Injil pertama di Gakokebo.
Dalam bulan Januari 1954 Keluarga Thomas Adii membuka Pos Pekabaran Injil pertama di Onaago.
Pada Tahun 1954, Luter Adii dan Lukas Yeimo merintis pelayanan di Dagou dan membuka Pos Pekabaran Injil
Pada tahun 1954 Daud Kotouki mulai bersaksi didaerah Debei Widuwakiya, Tadauto. Iboyaitawi dan Ogiaywogi Pigai percaya diri bahwa Injil itu benar,
Tahun 1954 Adolof Pakage pergi merintis Kegouda (di lembah kamuu Selatan).
Pada tahun 1955 Ev. Isak Pakage membuka Pos Pekabaran Injil di Kegeta dan Matius Pakage membuka Pos Pekabaran Injil di Tikigii (Mapia).
Pada tahun 1957 Ev. YesayaDawapa, Esau Giay pergi menginjili Dipa dan Dikiya, hasilnya Yosia Wakei menjadi hamba Tuhan.
Tahun 1950-an Ev. Elias Edoway diutus di Bukapa, Widiyaibi mengantar ke Bukapa, Widiwiyai Iyai menerima mereka.
Elisa kembali ke Tigi untuk membuka Pos Pekabaran Injil di Tenedagi.
Tahun 1955-1961 keluarga Pilemon diutus kebo II (Paniai Utara) dan membuka Pos Pekabaran Injil selama 6 tahun melayani Tuhan Kebo II di Abakogopa.
Tahun 1957-1958 Gradus Adii dan Yusuf Pekei dari VVS Gakakebo mulai bersaksi dibeberapa tempat yaitu, Dago, Yatamo, Ibodiyo, Digibagata dan Piyake Dimi.
Tahun 1960 Daud Kotouki menginjili di Kigimei dengan memakai alat peraga penginjilan yaitu Almafon dan 1965 membuka Gereja Ibodiyo
Tahun 1961 Ev. Pilemon Pakage dengan Obaja Ukago mulai bersaksi beberapa tempat yaitu Puteyato, Idaiyo Dagi, dan Mugiay.
Pada tahun 1960-an Zakheus Pakage, Daud Kotouki, Adolof Pakage Yohanes Kotouki pergi survei Digiuto, mereka disambut oleh tokoh-tokoh masyarakat yaitu : Okeitaiyede Doo, Kemeyaaede Doo dan Bidayaaede Adii setelah itu Marten Edoway dan Marius Edoway Pergi menginjili ditempat itu, tapi pihak katolik menentang mereka.
Tahun 1950-an Ev. Daan Adii diutus ke Obaipugaida Klasis Aga Barat.
Kornelis Edoway Mathius Pigome merintis di Iyei.
Pada tahun 1950-an Soleman Pekey diutus ke Dogimani untuk merintis pelayan baru dan membuka Gereja Kingmi disitu dan diikut oleh Martinus Pakage.
Pada tahun 1957 Gelard Giay ditugaskan di Muyekebo daerah Kamuu.
Dalam tahun 1960-an Pelayanan Kedua Ev. Ishak Pakage ditempatkan di Dogimani (Kecamatan Kamuu).
Pada tahun 1961 Daud Kotouki dan Polisi Andrias Pekei mulai Survei di Ugiya untuk membuka Gereja tapi misi Katolik menentang dan menghalangi. Sehingga masalah dibawa di Kantor Polisi lalu polisi mengatakan bahwa pelayanan Katolik dan Zending bebas melayani dikeliling Danau Tigi.
Tahun 1963 1 Agustus keluarga Ch. D. Paksoal pindah ke Waghete sebagai gembala sidang dan dalam tahun itu juga membuka Sekolah Rakyat (SR) di Waghete.
Tanggal 6 April 1962, Konferensi misi CAMA di Beoga untuk merancang nama Sinode dan nama KINGMI. Peserta Konfrensi dari Misi Lokal adalah Bapak Christian David Paksoal, bpk Isak Pakage, Bpk Matius Tebai, Bapak Yosia Tebai, 2 orang Lani dan seorang Damal.
Tanggal 6 April 1963 Konferensi Pertama diadakan Bomou, dalam konferensi tersebut dilengkapi dan dilantik Badan Pengurus eksekutif Sinode, dan disahkan nama Kingmi dan menetapkan Kantor Sinode di Jayapura serta nama panitia ditetapkan menjadi Distrik.
Tahun 1963 sampai 1972 merumuskan Tata Gereja Kingmi dan menetapkan melalui Hukum Negara Republik Indonesia.
2. Pada Pendelegasian tugas misi CAMA kepada misi lokal
a. Tahun 1957 s/d 1961 Misi CAMA mencoba dan melatih Misi LOKAL dalam penkaderan kepemimpinan dengan jabatan Panitia
b. Tahun 1962 s/d 1972 Misi CAMA membentuk organisasi baru yaitu nama Gereja Kingmi dan sinode dan periode itu teleh merumuskan Tata Gereja Kingmi di Tanah Papua dengan Akta Notaris Nomor 37 Tanggal 20 Meret 1973.
3. Masa organisir Gereja KINGMI
Tanggal 15 sampai dengan 17 November 1972 diadakan Konferensi di Piramid Kabupaten Jayawijaya, dalam konferensi tersebut menetapkan Tata Gereja secara resmi dan nama Distrik dirobah dan ditetapkan dengan nama Klasis.
Tanggal 6 April 1973 Gereja Kingmi secara resmi mengadakan Hari Ulang Tahun Kingmi di Tanah Papua
Tanggal 28 Agustus 1963 Bpk. Yusak Ikomou membentuk Organisasi Angkatan Muda Kemah Injil (AMKI) di Bomou I, karena peranan pemuda sangat penting dalam kegiatan-kegiatan jemaat.
Pada tahun 1952 Ch. D. Paksoal dan Ny. Yohana Yuliana Mayari mendirikan Sekolah Minggu di Bethani Bomou I (Daerah Tigi).
Pada tahun 1974 Bpk Yusak Ikomou membentuk Kelompok Pemuda dan Pemudi dengan nama Sinar Rohani I (satu). dan selanjutnya membuka atau membentuk kelompok pemuda/I disekitar daerah Tigi, Kamuu, Mapia, dan Paniai melalui Ibadah Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR).
Pada tahun 1970-an Yosia Pakage pendiri Organisasi Sekolah Minggu Kanak-kanak. Tahun 1974 dan 1975 Yosia Pakage dan Kelompok Sekolah Minggu Kanak-kanak Jemaat Bethani Bomou membentuk organisasi Sekolah Minggu gereja-gereja Induk Daerah Tigi.
Pada tahun 1976 Bpk Yusak Ikomou membentuk Tim Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) dengan Thema :Membangun Tubuh Kristus.
4. Pemekaran Klasis
Membentuk jabatan ketua klasis daerah Tigi :
a. Klasis Tigi
Ø Ketua klasis pertama di Tigi adalah Pdt. Marten Agapa tahun 1973-1977 (satu periode)
Ø Ketua Klasis kedua Pdt. Isak Pakage tahun 1977-1983 (dua periode)
Ø Ketua Klasis ketiga Pdt. Marthen Pigai tahun 1984-1991 (dua periode)
Ø Ketua klasis keempat Pdt. Martinus Pakage satu tahun, periode ini diteruskan oleh wakil klasis yaitu Pdt. Yermias Giay tahun 1991-1996
Ø Ketua Klasis kelima Pdt. Silas Pekei tahun 1997-2009 (tiga periode)
Ø Ketua Klasis ketujuh Pdt. Nerius Mote tahun 2010-2015
b. Klasis Yatamo
Ø Ketua klasis pertama Pdt. Martinus Adii tahun 1987-1991 (satu periode)
Ø Ketua klasis kedua Pdt. Obaja Pigome tahun 1991-1996 (satu periode)
Ø Ketua klasis ketiga Pdt. Marten Madai tahun 1996-2015
c. Klasis Tigi Barat
Ø Ketua klasis pertama Pdt. Yohanes Kotouki tahun 1991-2001 (dua periode)
Ø Ketua klasis kedua Pdt. Nius Giay tahun 2002-2015 (tiga periode)
d. Klasis Wagamo (membentuk klasis persiapan tanggal 19 oktober 2003
Ø Ketua klasis pertama Pdt. Neles Pekei tahun 2003-2009
Ø Ketua klasis kedua Pdt. Pelipus Edowai tahun 2010-2015
e. Klasis Tigi Utara
Ø Ketua Klasis pertama Pdt. Paul Anouw tahun 2010-2015
f. Koorditor Deiyai (bentuk tahun 2002 dari konferensi Nabire)
D. DASAR HUKUM
Hukum putusan tersebut telah inkrah dan berkekuatan hukum tetap berdasarkan :
1. Putusan Pengadilan Negeri Jayapura Nomor 43/PDT/2007 tanggal 20 Februari 2009
2. Putusan Pengadilan Tinggi Jayapura Nomor 33/PDT/2008 PT. JPL tanggal 20 Januari 2010
3. Putusan Mahkamah Agung RI. Nomor 1962.K/PDT/2009 tanggal 7 Juni 2010
4. Akte Notaris Nomor 37 tanggal 27 Maret 1973
Surat Keterangan telah mendaftarkan dari Departemen Agama RI Nomor E/VII/62/424/73 tanggal 17 April 1973.
Perubahan Akte Nomor 139 tanggal 16 Juni 2011, pengembangan Nama KINGMI.
Rekomendasi pelayanan tetap Kementerian Agama Kantor Wilayah Provinsi Papua Nomor Kw.26.4/1/BA. 01.1/1554/2010 tanggal 20 Oktober 2010.
Anggaran Rumah Tangga (ART) Gereja Kemah Injil (Kingmi) di Tanah Papua
5. Hak paten dan hak cipta
a. Telah mendaftarkan logo atau merek Kingmi – Direktorat Jendral hak kekayaan intelektual nomor J00-2011-00-3566 tanggal 28 Januari 2013.
b. Telah mendaftarkan logo Kingmi Direktur Jendral HKI melalui Direktur Hak Cipta Kementerian Kehakiman nomor C00201101712 tanggal 28 April 2011.
c. Pendaftaran Hak Cipta dan Hak Paten Nomor 057465
d. Kementerian Hukum dan HAM Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 tentang hak merek logo Nomor pendaftaran : IDM000365027 tanggal 28 Januari 2011. Uraian warna logo Injil Empat Berganda : Merah, Kuning, Hijau dan Biru.
Sejarah Peradaban Orang Koteka di Wilayah Paniai
Sejarah Peradaban Orang Koteka di Wilayah Paniai
Auki Tekege/fmaddmmselatan |
Disini yang akan diangkat adalah sejarah hidup sosok Auki Tekege yang dengan gigih telah membawah masuk agama Kristen di Paniai dengan damai. Auki sebagai salah satu tokoh diantara sekian banyak tokoh yang telah membuka pagar Allah yang dibuat secara bertahap di tanah Papua dengan dorongan roh kudus. Tokoh-tokoh yang tercatat dalam sejarah pembukaan pagar Allah di tanah Papua ialah Ottouw dan Geisller di Mansinam Manokwari (Papua Utara) pada tahun 1855,Ardmanville d’cock di Kokonao (Papua Selatan) pada tahun 1902, Auki Tekege (1932-1934) dan seterusnya.
Pada zaman simbiotik, banyak orang dari timur mengembara ke bagian barat pegunungan pusat. Salah satu marga yang pindah dari sekitar danau Tage ke Mapia adalah marga Tekege. Adalah Obasso Tekege, adik bungsu dari tiga bersaudara melarikan diri dari Tage (dimiya) ke Mapia karena bagian daging burung yang diinginkannya tidak diberikan oleh kedua kakaknya sehingga Obasso mengembara ke Tigi, pindah lagi ke Idadagi masuk daerah Mapia, menetap di Maymapa dan tidak lama kemudian pindah ke Modio. Keturunan Obasso sebagai berikut; Dodota, Menani, Wateisa, Mootoo, Memaha, Beneika, Siwaika, Bidahai dan Bedoubainawi (dikenal Auki).
Disebut Bedoubainawi karena semasa muda, Bedoubainawi mempunyai hoby berburu burung (Bedo = burung, ubai = cari, nawi = jalan). Sehingga ia sudah mengoleksi berbagai jenis burung. Sebagian besar dari burung yang dikoleksi adalah burung Cenderawasih. Bedoubainawi rupanya mempunyai maksud tertentu dibalik kegiatan koleksi burung Cenderawasih. Ia sering kali berjanji kepada masyarakatnya bahwa pada suatu saat ia akan menghadirkan Ogai-pii (dunia modern). Menginjak usia dewasa, Bedoubainawi mulai berburu keluar daerah Modio. Daerah yang sering dilalui adalah daerah Isago-doko (diantara Mapia dengan Kokonao). Di Isago ia berkenalan dengan seorang pemuda bernama Ikoko Nokuwo. Sering mereka berdua berjualan hasil bumi kepada orang-orang Kamoro (pantai selatan), dan diganti dengan kulit bia (mege = alat pembayaran), sambil latihan bahasa Kamoro. Kepala suku Kamoro dengan kepala perangnya sangat dikenal baik. Hari demi hari mereka dua mulai belajar bahasa Kamoro dan akhirnya menjadi fasih.
Bedoubainawi sudah lupa lagi dengan kampung kelahirannya di Modio. Namun pada suatu saat ia kembali ke kampung Modio tanpa membawah sesuatu apapun. Kedatangannya tidak disenangi masyarakat Modio yang ditinggalkan bertahun-tahun. Orang-orang Modio bertanya kepada Bedoubainawi “dimana ogaipii yang dari dulu kamu janji?“. Akhirnya masyarakat Modio memanggil TAPEHAUGI yang artinya orang yang tidak beruntung. Pada waktu itu hampir seluruh daerah Mapia terjadi perang. Perang itu terjadi antar klan/marga dan kampung akibat pencurian, perzinahan yang berbuntut pada pembunuhan yang sifatnya melanggar hukum Tota Mana. Sistem sangsi hukum pun tidak berlaku, hanya nyawa ganti nyawa. Dengan kata lain kebenaran-kebenaran itu semakin hilang.
Tapehaugi hampir setiap hari berpikir, bagaimana caranya sehingga masyarakat bisa hidup aman, damai dan rukun berdasarkan ajaran-ajaran Kabo mana dan Tota mana. Pada suatu hari Tapehaugi memutuskan pergi mengunjungi rekannya Ikoko Nokuwo di daerah Isago[1]. Awal tahun 1930 Tapehaugi bersama istrinya Kesaimaga Gobay mulai berjalan menuju pantai selatan. Selama satu minggu mereka berjalan dari Modio bermalam di Mokobike, Boubaga, Dikitinai hingga di kampung Bidau. Dikampung Bidau ia bertemu Ikoko Nokuwo dan masyarakatnya bermarga Gabou-Kahame. Dari Bidau mereka menuju Wagikunu. Esoknya mereka menuju kampung Dowudi dan malam ketujuh mereka sampai di kampung Makaihawido. Di kampung itu Tapehaugi menetap lama dan membuat rumah.
Tak lama kemudian mereka pergi menjual hasil buminya ke Ugoubado (Pronggo) untuk ditukarkan dengan hasil bumi dari pantai. Sampai di Ugoubado mereka masuk dirumah kepala suku Kamoro. Pada malam hari Kepala Suku Kamoro menceritakan tentang orang-orang barat yang sedang mewartakan Injil di daerah Kokonao. Tapehaugi sangat tertarik dan ingin berjumpa dengan para misionaris tersebut. Namun Kepala Suku Kamoro itu tidak menceritakan dimana keberadaan para misionaris itu. Tapehaugi mengetahui maksud hati Kepala Suku dan berjanji setelah tiga bulan Tapehaugi dan rombongannya akan membawah hasil buruan dan makanan. Janji Tapehaugi diterima baik oleh Kepala Suku Kamoro.
Tiga bulan kemudian Tapehaugi bersama rombongannya membawah 40 ekor burung Cenderawasih(tune mepiha) yang sudah dikeringkan sebelumnya, ditambah makanan dan tembakau. Orang Kamoro pun sudah mempersiapkan kulit bia, 40 buah kampak batu (maumi) dan hasil laut lain sesuai perjanjian. Setelah pertukaran barang selesai, Kepala Suku Kamoro berjanji akan membawah para misionaris untuk berkenalan denganMaihora (panggilan orang Kamoro kepada Tapehaugi). Dengan hati yang senang dan gembira Tapehaugi bersama rombongannya kembali ke Wagikunu.
Pada suatu hari sementara Tapehaugi sedang membuat kebun, tiba-tiba istrinya Kesaimaga memanggil:“Ke-ke..tobouga-gogo wake, akogeima kedeke kamena keino owegaimi”. Artinya ‘’hai orang Tobousa, jangan melamun, sahabat-sahabatmu sedang datang, mari jemput mereka”. Tapehaugi pun bergegas menjemput mereka. Sesampai dirumah ia berpapasan dengan orang-orang berkulit putih persis seperti anak yang baru lahir(detamagawa). Kepala suku Kamoro berkata kepada Auki: “Maihoga, inilah orang-orang yang mewartakan kabar gembira”. Maka mereka saling berkenalan satu sama lain. Orang-orang berkulit putih itu antara lain Pater Tillemans MSC dan dr Bijmler. Pada kesempatan itu tepat bulan April 1932[2]. Tapehaugi menceritakan, “dibelakang gunung sana, orang seperti saya banyak, saya minta supaya kabar Injil diwartakan kepada rakyat saya yang berada dibalik gunung sana”, ungkap Tapehaugi berharap. Pater Tillemans berjanji setelah tiga tahun dirinya akan datang menuju Modio – Mapia. Selanjutnya Tapehaugi bersama istrinya kembali ke Modio.
Dalam perjalanan pulang, Tapehaugi mendapat nama baru dari seorang Malaikat di kampung / gunung Mokobike (Mouhago). Nama yang diberikan adalah AUKI – artinya laki-laki yang hebat dalam nada keheranan. Sesampainya di Modio, Auki menceritakan perjalanannya ke Kokonao termasuk nama yang baru diberikan itu. Orang-orang yang turut mendengar cerita Auki antara lain Minesaitawi Tatago, Metegaibi Kedeikoto, Dakeugi Makai dan teman sedawar lain yang masih hidup pada masa itu.[3]
Pada tanggal 21 Desember 1935, P. Tillemans yang mengikuti Bijmler Ekspedisi menuju Modio[4]. Setelah lima hari perjalanan, pada tanggal 26 Desember 1935 rombongan P. Tillemans dan Tuan Bijmler tiba di Modio. Pada waktu itu Ikoko Nokuwo memakai topi yang dibuat dengan rotan. Mereka disambut dengan Tupi Wani(Kapauku Folkdance) dan dipotong dua ekor babi sebagai pengucapan syukur atas kehadiran dua orang barat tersebut.
Selanjutnya Auki memerintahkan kepada Minesaitawi Tatago dan Dakeugi Makai untuk memanggil seluruh pimpinan masyarakat (Tonawi) yang ada diseluruh pedalaman Paniai. Sepuluh hari kemudian, para Tonawi tersebut tiba dengan rombongannya dengan membawa babi untuk pesta perdamaian [tapa dei]. Mereka yang turut hadir pada waktu itu antara lain Zoalkiki Zonggonao dan Kigimozakigi Zonggonau dari Migani, Gobay Pouga Gobay dari Paniai, Itani Mote dan Timada Badi dari Tigi, Papa Goo dari Kamu, Tomaigai Degei dari Degeuwo, Pisasainawi Magai dari Piyakebo, Dekeigai Degei dari Putapa, Enagobi Gobai dari Pogiano, Tubasawi Tebay dari Toubay, Mote Pouga Mote dari Adauwo dan Dakeugi Makai dari Pisaise, dll.[5]
Pada tanggal 7 Januari 1936, Pater Tillemans memimpin Misa Kudus dan membuka Injil diatas batu didepan rumah Bapak Auki. Itulah misa pemberkatan pertama di kampung Modio. Setelah misa kudus, dilanjutkan dengan doa perdamaian (tapa dei) yang dipimpin oleh Auki. Dalam doa inti Auki meminta Minesaitawi dan Dakeugi untuk membunuh dua ekor babi yang telah dipersiapkan (Sabakina dan Bunakina). Ketika membunuh bunakina (babi hitam) Minesaitawi berkata:Aki mogaitaitage Mee (bagi yang akan berbuat zinah), aki oma nai tage Mee (bagi yang akan mencuri), aki pogo goutage Mee (bagi yang akan membunuh), aki Mee ewegaitage Mee (bagi yang akan menceritakan orang lain),aki pusa mana bokouto Mee (bagi yang akan menipu) kou ekinama dani kategaine. Artinya:saya samakan kamu yang akan melanggar ajaran Tota Mana dengan babi yang saya bunuh agar tidak terulang lagi.” Selanjutnya Dakehaugi membunuh babi putih yang sudah diikat di Pohon Otika. Setelah itu Dakehaugi memotong pohon Otika dan mengeluarkan darah merah pertanda persembahan diterima[6].
Setelah upacara perdamaian selesai, rombongan Pater Tillemans kembali ke Kokenau dan melaporkan perjalanan kepada Pimpinan Gereja di Langgur (Ambon) dan Pemerintah Hinda Belanda bahwa dipedalaman Paniai ada manusia. Laporan itu diketahui Assisten Residen Fakfak dan Bestuur Assisten di Kaimana dan meminta Pilot Letnan Dua Laut Ir. F. Jan Wissel untuk menelusuri daerah Pegunungan. Pada awal bulan Februari 1937 Pilot Wissel terbang dari Utara (Serui = Geelvink) ke arah Selatan (Babo) menggunakan pesawat Sikorsky milik perusahaanNederlands Nieuw Guinea Petroleum Maatschapij (NNGPM) dan menemukan tiga buah danau dan perkampungan disekitar danau itu. Sejak saat itu danau Paniai, danau Tage dan danau Tigi dikenal Wisselmerren (bahasa Belanda artinya danau-danau Wisel). Selanjutnya pada bulan April 1938 P. H. Tillemans MSC ikut Ekspedisi Van Eachoud menuju Enarotali untuk membuka pos-pos pelayanan sekaligus menemui Tonawi-Tonawi yang sudah dikenal jauh sebelumnya di Modio, 1936.
Berita adanya manusia di Pedalaman Paniai didengar pula oleh Pendeta R. A. JAFFAR. Akhir tahun 1937 Pdt. R. A. Jaffar mengajukan permohonan dan meminta ijin kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk membuka penginjilan di daerah pedalaman Paniai dan permohon tersebut dikabulkan. Dari Makasar beliau berangkat menuju Bumi Cenderawasih untuk melihat secara langsung keadaan penduduk disana. Selanjutnya Pdt. R. A. Jaffar mengutus Pdt. Walter Post dan Pdt. Russel Dabler untuk merintis daerah pedalaman Paniai. Sesampai di Uta mereka berdua dijemput Yineyaikawi Edowai dan menuju daerah Paniai melalui sungai Yawei. Begitu tiba mereka bermalam di rumah Itani Mote di Yaba (Waghete).
Tahun-tahun berikutnya berturut-turut didatangkan penginjil-penginjil muda seperti Sam Pattipeiloi dari Ambon, Poltak Saragih asal Tapanuli dan Paja asal Kalimantan Timur bersama 20 orang dari Kalimantan Timur meninggalkan Makasar pada 5 Maret 1939. Mereka tiba di bumi Cenderawasih pada 20 April 1939. Berikut tahun 1941 datang pula beberapa lulusan SAM pada route yang sama yaitu Ch. D. Paksoal, P. Pattipeiloi, C. Akhiary (Ambon Sanger Talaut), Ajang Lajang, Salim dan Teringan asal Kalimantan Timur. Dari kalangan gereja Katolik datang pula beberapa guru-guru muda seperti Andreas Matorbongs ditempatkan di Enarotali, gr Meteray di Kugapa dan Petrus Letsoin di Yaba.
Segera sesudah itu perang dunia kedua meletus dan seluruh pelayanan misi dan zending diberhentikan. Beberapa misionaris dan pemerintah Belanda diinternir oleh tentara Jepang. Salah satu surat yang dilayangkan berbunyi: “Als de kontreleurs en de Pastoors zich niet aan de Japanners overgeven, hebben nedaar voor reeds twee grote kapmessen gereedliggen, een voor de pastoor en een voor mij”. Artinya jika pemerintah dari Belanda dan Pater tidak menyerahkan diri kepada pemerintah Jepang, mereka akan dipenggal kepalanya. Orang-orang Jepang telah menyediakan dua buah pisau besar, satu untuk penggal kepala para pastor, dan satu untuk saya (de Bruijn).
Mendengar informasi ini, para misionaris dan Pemeritah Belanda segera disembunyikan oleh orang-orang pedalaman di beberapa tempat seperti Komandoga, Siriwo dan Pegaitakamai. Orang-orang yang disembunyikan di Pegaitakamai antara lain Pater Tillemans, dr Rubiono dan DR. J.V. de Bruijn. Di gunung ini dokter Rubiono yang mengikuti kedua orang barat itu menemukan seorang bayi kecil (tuan tanah) dan disembunyikan dalam tas. Menurut orang Mapia hingga saat ini, dokter Rubiono adalah Ir Soekarno, Presiden Republik Indonesia pertama. Walaupun dalam dokumen-dokumen sejarah Suku Mee dan daerah sekitarnya tidak pernah disebut nama Soekarno, kecuali nama dr Rubiono dan Adang Rusdy, seorang operator Radio Belanda – dan juga Ir Soekarno sebelum tahun 1945 belum pernah injak daerah pedalaman Irian.
Tak lama kemudian pada bulan Agustus dan September 1942 tentara Jepang masuk ke daerah Paniai melalui Uta ke Oraya terus ke Enarotali. Cengkeraman kekuasaan Jepang di Paniai menyebabkan HPB de Bruijn terpaksa mengungsi ke Australia. Dalam pengungsian ini, ikut serta 26 pemuda Ekagi dan Migani. Mereka adalah Markus Yeimo, Piter Kadepa, Bernadus Gobay, Petrus Gobay, Kornelis Madai, Obeth Takimai, Erenius Mote, Yoakim Mote, Dominggus Mote, Bernadus Mote, Markus Goo, Kosmos Ekee dan Animalo Adi. Dari Merauke ada beberapa yang masuk polisi seperti Manatadi Gobay, Kaimodi Yogi, Bintang Gobay, Paulus Madai dan Yoseph Yeimo. Sedangkan yang lain masuk Batalyon Papua yang dibentuk tentara Sekutu untuk memerangi sisa-sisa tentara Jepang. Sementara itu, de Bruijn membawah tiga pemuda Ekagi ke Australia, masing-masing Karel Gobay, Zakeus Pakage dan Ikoko Nokuwo. Sementara itu Pater H. Tillemans dan dr. Rubiono bersama beberapa guru lainnya, berangkat dari Mapia menuju Enarotali untuk menunggu pesawat menuju Merauke. Di Enarotali P Tillemans dan rombongannya disembunyikan di gunung Bobaigo. Di gunung ini, dr Rubiono menangkap burung Garuda (Imu =penjaga gunung, menurut orang Mee).
Pada tanggal 24 Mei 1943 P Tillemans MSC dan rombongannya berangkat dengan pesawat terbang dari Enarotali ke Merauke. Dua hari setelah keberangkatan mereka, daerah Paniai dan sekitarnya diduduki oleh tentara Dai Nippon. Usai perang dunia kedua, misionaris dan zending kembali ke daerah Paniai dengan membawah tenaga-tenaga guru, suster, Pater untuk membangun daerah yang telah “dipagari Allah”. Dari Misi seperti Gerardus Ohoiwutun dan Bartholomeus Welerebun di Enarotali.
A. USAHA TETAP UTUHNYA “PAGAR ALLAH”
Kedatangan misi dan zending telah membawa banyak perubahan-perubahan. Banyak pemuda-pemudi dididik berpola asrama, ada pula yang dibawah keluar untuk studi di luar daerah bahkan diluar negeri. Itu semua dilakukan agar pada suatu saat mereka dapat membangun daerahnya sendiri berlandaskan budaya dan ajarannya. Salah seorang putra Me yang benar-benar menyadari akan hal itu adalah Zakheus Pakage. Ia pada saat pendudukan Jepang di bawah pergi oleh Dr. J.V. de Bruijn ke Australia dan selanjutnya disekolahkan di Sekolah Tinggi Teologia Ujung Pandang. Sepulangnya Zakheus membuat sebuah Gerakan Kebudayaan yang dikenal dengan “EDAGE BAGE” atau orang-orang dalam pagar.
Menurut DR. Jan Boellaars dalam MANUSIA IRIAN DULU, SEKARANG DAN MASA DEPAN, nama EDAGE BAGE menimbulkan pikiran, bahwa hanya didalam pagar orang bisa aman terhadap bencana dan tanpa susah payah dapat menikmati kesuburan bumi. Serentak juga bergema didalam nama itu kisah asal dari Alkitab tentang Taman Firdaus, sebuah kebun berpagar, yang didalamnya manusia tidak mengenal penderitaan dan kematian.
Namun ada sekelompok orang yang tidak memahami benar Gerakan ini menyebut kelompok ini adalah “Wege Bage” atau kelompok perusak. Inti pokok dari ajaran ini adalah bahwa kearifan-kearifan dan kebenaran-kebenaran akan Allah terdapat didalam alam, adat dan ajaran orang Mee perlu dijaga, dilestarikan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Alkitab dipandang sebagai penyempurna ajaran asli.
B. DAERAH MAPIA DILUPAKAN, AUKI MENJADI GURU AGAMA PERTAMA
Lain di Mapia. Akibat ditutupnya beberapa ‘dimi’ (bukit) oleh leluhur Mapia, maka daerah Mapia dilupakan kurang lebih 20 tahun (1939-1952). Auki sebagai tokoh Mapia berkali-kali meminta ditempatkan seorang Pater, namun belum pernah dijawab oleh Pater H Tillemans sebagai Pimpinan Vikariat Apostolik Paniai pada waktu itu. Sementara daerah Paniai dan Migani banyak didatangkan guru-guru dari Kei dan Bruder Suster dari Belanda.
Namun Auki tidak buta terhadap firman Tuhan. Auki dibantu rekan-rekannya antara lain Minesaitawi Tatago (kepala perang), Anaigaibi Tekege (penghubung masyarakat), dan Bogapa sebagai pendukung kekayaan Auki melaksanakan berbagai kegiatan untuk mewartakan Injil didaerah Mapia. Cara Auki dan kawan-kawannya mengajarkan agama sangat unik. Pada waktu itu Auki dan Minesaitawi pura-pura bertengkar dan “akawaina” (gerakan menggoyangkan kaki pertanda penyelesaian suatu masalah), dengan tujuan orang dapat berkumpul dimana kedua orang bertengkar.
Setelah orang semakin banyak, Auki sambil menunjukkan sebuah gambar TUHAN YESUS yang diberikan oleh Pater Tillemans mengatakan: “Kiko UgataMee sokaibo, okaina Mee, inii dani, dimihago, peka, ebe okaina ewaa. Iso koma kado koma to dege, ekaki Yesus. Hamake iniha peudo maidamake piha bokouda nihabokata.” (=Dia adalah Anak Allah, punya hidung, punya mata dan akal budi. Hanya rambut dan kulit dan berbeda. Ia mati di kayu salib karena dosa manusia)[7]. Karena itu AUKI disebut guru agama Kristen pertama didaerah Paniai.
Dalam keadaan demikian, dua orang pemuda dari Timepa yakni Otto Wakei dan Amasimesai Petege mengikuti orang tuanya ke Yaba (Wagethe). Di Yaba mereka nginap dirumah Itani Mote (Weakebo Mote). Disana mereka menyaksikan bagaimana para Pater menyekolahkan anak-anak dan perkembangan maju cepat. Akhirnya pada tahun 1948, Otto dan Amakasimesai kembali ke Mapia dan meminta kepada para tua-tua adat di seluruh Mapia untuk membuat upacara Deba Duwai, yang tujuannya adalah membuka semua dimi-dimi yang sudah ditutupi (dipagari) oleh Allah. Nyatanya, pada tahun 1949 Pater Tillemans mengunjungi daerah Mapia dan berjanji akan memberikan seorang Pater.
C. PEMBANGUNAN GEREJA PERTAMA DI MAPIA
Tak lama kemudian, tepatnya pada tanggal 22 Pebruari 1952, hadirlah seorang Pater muda bernama Engelbertus Smith (dikenal Henk Smith). Kedatangannya disambut dengan tupi wani yang diselingi Gaidai-Wainai ala Mapia (Kapauku Folkdance). Ia disambut seperti seorang Raja. Pada kesempatan itu pater Smith diberi gelar MAPISABI (raja Mapia).
Ketika Pater Smith di Mapia, ia tidak tinggal diam. Banyak kegiatan gerejani yang dilaksanakan, hal ini membuat umat Mapia mulai membangun dan menata kehidupan mereka. Selain kegiatan gerejani, pater juga berperan sebagai Tukang dan Mantri. Menjelang Natal tahun 1952, Smith memerintahkan untuk segera mempersiapkan WODA-EKINA (kuskus dan Babi) serta BAI PUGO (keladi dan batangnya). Pater Smith sendiri mempersiapkan dua ekor babi. Tepat pada tanggal 26 Desember 1952 (setelah malam Natal) terjadi pesta Natal yang paling Akbar diseluruh pelosok bumi Cenderawasih. Berikut kutipan kronologis peristiwa Natal yang dipimpin P. Smith dan didampingi langsung AUKI sebagaimana dimuat dalam IKTISAR KRONOLOGIS SEDJARAH MASUKNYA GEREJA KATOLIK DI IRIAN BARAT[8] :
“Tepat pada tanggal 25 Desember 1952 Natal dirayakan seperti biasa dimana-mana. Natal yang istimewa ialah di Modio, tempat tinggal Pater Smith. Pada hari itu pastor Paroki membeli dua ekor babi. Penduduk kampung sekitarnya, dan bahkan penduduk kampung dari jauh datang berbondong-bondong ke Modio. Kira-kira ada dua ribu orang datang. Auki raja Modio, merasa bangga. Pada hari menjelang Natal orang-orang membawakan dua ekor babi. Rupa-rupanya mereka menjadikan pesta Natal sebagai hari pesta besar-besaran = Yuwo. Sehingga sebelum Natal, mereka telah datang berkumpul. Tiap malam mereka bernyanyi dan menari. Pater Smith tidak pernah absen. Tiap malam ia ikut tupi wani atau sering disebut “akamine uno” (malam salaman sambil memberikan hadiah). Hal mana menambah kegembiraan orang Kapauku. Puncak perayaan ialah tanggal 25 Desember 1952. Para guru membuat Altar, dipasang dibawah kolong langit. Seluruh umat berjongkok mengelilingi altar. Kepala-kepala kampung berteriak-teriak memberi instruksi kepada rakyatnya, bagaimana mereka harus berlutut dan sebagainya. Setelah agak tenang Pastor Paroki memberikan mereka pelajaran Agama dalam bahasa Mee. Habis pelajaran agama misa dimulai. Para guru bersenjata lengkap dengan panah dan busur berjalan ke kandang babi. Empat ekor babi dipanah mati, menyusul yang lain. Selama babi dimasak, sering-sering timbul sorak dan teriak (hu-waita). Pater Smith sambil mengisap cerutu besar, berkeliling diantara umatnya dan beramah tama dengan mereka. Sementara itu daging babi sudah dimasak. Sebelum mereka makan, Pastor Paroki membawakan doa Bapak kami dan salam Maria. Habis makan mereka mulai tari-tari lagi. Mereka bersumpah kepada para pastor akan setia kepada Tuhan seumur hidup. Raja Modio, Auki, terus menerus berpidato. Hari Natal adalah hari besar baginya. Pada kesempatan ini ia mengenakan pakaian kebesaran baginya, artinya ia mengenakan Piyama Tua, yang dibelinya di Kokonao ditukar dengan segemgam tembakau (Kapaki=rokok bhs.Mimika). Diatas kepala ia memakai topi jerami (migaba), suatu hadiah dari bapak KPS. Dan untuk mempertunjukan bahwa ia termasuk golongan Katolik meskipun pada waktu itu ia belum dipermandikan, ia mengalunkan tasbeh panjang pada lehernya. Pada waktu malam perayaan dilanjutkan. Pater Smith tunjuk muka lagi. Seorang guru menyediakan kursi untuk Pater. Pastor Paroki belum lama duduk, terus dikelilingi orang banyak. Dari belakang ada tangan memeluknya. Pater memalingkan kepala dan melihat seorang wanita tua, yang dengan tersenyum berkata “aki aniya naitai” artinya kamu bapaku.”
Demikian pada Natal pertama di Modio. Tuhan telah melahiran anak 2000 lantaran Pater Smith. Pater Smith mengatakan saya sangat bangga dan terharu merayakan Natal dengan masyarakat Mapia. Tak lama kemudian masyarakat bersama Pater Smith membangun gereja bersama-sama. Dalam waktu yang tidak lama berdirilah Gereja pertama dengan nama St Ambrosius Modio.
Selanjutnya pada tanggal 02 April 1959 Pater Smith mengunjungi ibunya yang sakit di Netherland sekaligus untuk cuti. Sebelum meninggal Pater Smith datang ke Modio untuk merayakan Pesta Perak bersama umat Mapia. Kali ini, ia disambut sangat meriah dan haru. Paterpun terharu melihat perkembangan Modio-Mapia yang begitu cepat. Dengan suara terputus-putus, Pater Smith dengan menggunaan bahasa khas Mapia mengatakan: “Ani Itonago ko, ana nomo nuta wegatemega nako enakepaibeu tena doune mega. Hamake anadouko, inoko ena kida tipai, inoko enakai dimi kohoka, ani bokapa koda, UgataMee epa etitouta ko, AKI-ha ani dodo natogetako ekowapa kihoka nadouno etitouta,” ungkap Pater sambil air mata berlinang. Artinya “saya datang hari ini untuk melihat keladi dan petatas yang saya pernah tanam, namun saya melihat ada yang sudah masak dan ada yang hampir masak. Oleh karena itu setelah meninggal saya akan lapor kepada Tuhan atas pekerjaanku ini.” Pater sebelum sampai di Negeri Belanda meninggal di Jakarta. Selamat Jalan “Sang MAPIHABI”.
D. JASA SEORANG AUKI
Auki adalah manusia pra Modern yang belum tahu apa itu Injil atau Alkitab apalagi perkembangan dunia luar. Tetapi dengan gigih berjuang menghadirkan kabar suka cita di daerah pedalaman melalui hubungan dagang yang sudah lama dijalin dengan suku Kamoro. Dalam sejarah perkembangan bangsa barat ke wilayah ekspansinya sering terjadi perang dengan bangsa pribumi. Namun pertemuan awal antara Auki dengan para misionaris terjadi dengan damai dan saling memandang satu sama lain sebagai ciptaan Tuhan. Oleh karena itu DR JV de Bruijnmenyebut Auki adalah orang yang bijak dan berpengalaman, juga berprestasi dan berkemampuan. Auki juga sudah melihat laut, Maikaida dan mengadakan kontak dengan orang Mimika dengan tukar menukar rokok dengan garam, juga menguasai bahasa Mimika. (Auki is echter een bereisd man, waaraan hij zijn prestige ontleent. Hij heft de zee, maikaida, gezien. Hij ruilhandel drijft-tabak tegen zout de Mimikataal).[9]
Auki dibabtis menjadi orang Katolik pada tanggal 19-07-1958 bersama rekan-rekannya dari Mapia oleh Vikaris Apostik dan Uskup Tituler Mosynopolis Irian, Mgr. Dr. Staverman di Modio. Satu tahun kemudian 1959 Auki meninggal dalam usia muda. Beliau dimakamkan di Gokotikapau, yaitu sebuah gua yang sudah dipilih sebelumnya.
Pepatah mengatakan “Gajah meninggalkan gading, manusia meninggalkan nama”. Pepatah ini tidak berlaku bagi seorang Auki yang telah berjasa bagi orang pedalaman dan pegunungan bumi Cenderawasih. Karena jasanya menawarkan misionaris datang membuka mata hati pikiran orang gunung belum pernah dikenal luas. Sekarang menjadi tanggung siapa? Apakah orang Paniai yang telah muncul sebagai Auki-Auki kecil tinggal diam tanpa berterima kasih sedikitpun? Lima puluh tahun pesta emas berdirinya Gereja Modio – Mapia dan 70 Tahun masuknya Agama di daerah pedalaman Paniai adalah merupakan tonggak sejarah yang perlu dihayati dan direnungkan bersama-sama. Agar masyarakat Mapia khususnya dan orang Irian umumnya dapat membuka mata melihat kehidupan baru kedepan, untuk membangun, menata dan mengangkat sisa-sisa firdaus yang semakin hilang.
Sebelum Auki meninggal hanya ada satu pesan yang ditinggalkan kepada anak-cucunya, kepada orang Modio dan Mapia khususnya dan orang Irian umumnya.
AUKI bukan milik Tekege paa
AUKI bukan milik Tatago paa
AUKI bukan milik orang Modio
AUKI bukan milik orang Mapia
AUKI bukan milik orang Pedalaman
AUKI bukan milik orang Melanesia
Tetapi …………….
AUKI adalah milik setiap insan manusia
Yang mencintai dan mencari firdaus
AUKI adalah simbol firdaus yang hilang
Yang mencari dan menemukan Kabo-Mana
Untuk kita
Auki pergi menawarkan dan menerima agama Kristen di Mimika, bukan berarti mau meniadakan atau mau menghilangkan ajaran agama asli, melainkan untuk menyempurnakan, memperbaharui dengan ajaran Kristen, sebagaimana kata Yesus kepada para muridnya: “Aku datang bukan untuk meniadakan atau menghilangkan hukum Taurat atau kitab para Nabi. Aku datang bukan untuk menghilangkan, melainkan untuk menggenapinya”(Matius 5:17). Tetapi Auki juga mengalami hal yang sama seperti yang pernah dialami Yesus, bahwa “Seorang nabi dihormati dimana-mana, kecuali di tempat asalnya sendiri dan di rumahnya” (Matius 13:57, Lukas 6:27-36, Markus 6:1-6, Lukas 4:16-30). Semoga nama besar Auki dikenang didalam setiap insan yang mencintai kedamaian.
Langganan:
Postingan (Atom)