Kamis, 25 Mei 2017

Sejarah Peradaban Orang Koteka di Wilayah Paniai

Sejarah Peradaban Orang Koteka di Wilayah Paniai

Auki Tekege/fmaddmmselatan
Disini yang akan diangkat adalah sejarah hidup sosok Auki Tekege yang dengan gigih telah membawah masuk agama Kristen di Paniai dengan damai. Auki sebagai salah satu tokoh diantara sekian banyak tokoh yang telah membuka pagar Allah yang dibuat secara bertahap di tanah Papua dengan dorongan roh kudus. Tokoh-tokoh yang tercatat dalam sejarah pembukaan pagar Allah di tanah Papua ialah Ottouw dan Geisller di Mansinam Manokwari (Papua Utara) pada tahun 1855,Ardmanville d’cock di Kokonao (Papua Selatan)  pada tahun 1902, Auki Tekege (1932-1934) dan seterusnya.

Pada zaman simbiotik, banyak orang dari timur mengembara ke bagian barat pegunungan pusat. Salah satu marga yang pindah dari sekitar danau Tage ke Mapia adalah marga Tekege. Adalah Obasso Tekege, adik bungsu dari tiga bersaudara melarikan diri dari Tage (dimiya) ke Mapia karena bagian daging burung yang diinginkannya tidak diberikan oleh kedua kakaknya sehingga Obasso mengembara ke Tigi, pindah lagi ke Idadagi masuk daerah Mapia, menetap di Maymapa dan tidak lama kemudian pindah ke Modio. Keturunan Obasso sebagai berikut; Dodota, Menani, Wateisa, Mootoo, Memaha, Beneika, Siwaika, Bidahai dan Bedoubainawi (dikenal Auki).
Disebut Bedoubainawi karena semasa muda, Bedoubainawi mempunyai hoby berburu burung (Bedo = burung, ubai = cari, nawi = jalan). Sehingga ia sudah mengoleksi berbagai jenis burung. Sebagian besar dari burung yang dikoleksi adalah burung Cenderawasih. Bedoubainawi rupanya mempunyai maksud tertentu dibalik kegiatan koleksi burung Cenderawasih. Ia sering kali berjanji kepada masyarakatnya bahwa pada suatu saat ia akan menghadirkan Ogai-pii (dunia modern). Menginjak usia dewasa, Bedoubainawi mulai berburu keluar daerah Modio. Daerah yang sering dilalui adalah daerah Isago-doko (diantara Mapia dengan Kokonao). Di Isago ia berkenalan dengan seorang pemuda bernama Ikoko Nokuwo. Sering mereka berdua berjualan hasil bumi kepada orang-orang Kamoro (pantai selatan), dan diganti dengan kulit bia (mege = alat pembayaran), sambil latihan bahasa Kamoro. Kepala suku Kamoro dengan kepala perangnya sangat dikenal baik. Hari demi hari mereka dua mulai belajar bahasa Kamoro dan akhirnya menjadi fasih.
Bedoubainawi sudah lupa lagi dengan kampung kelahirannya di Modio. Namun pada suatu saat ia kembali ke kampung Modio tanpa membawah sesuatu apapun. Kedatangannya tidak disenangi masyarakat Modio yang ditinggalkan bertahun-tahun. Orang-orang Modio bertanya kepada Bedoubainawi “dimana ogaipii yang dari dulu kamu janji?“. Akhirnya masyarakat Modio memanggil TAPEHAUGI yang artinya orang yang tidak beruntung. Pada waktu itu hampir seluruh daerah Mapia terjadi perang. Perang itu terjadi antar klan/marga dan kampung akibat pencurian, perzinahan yang berbuntut pada pembunuhan yang sifatnya melanggar hukum Tota Mana. Sistem sangsi hukum pun tidak berlaku, hanya nyawa ganti nyawa. Dengan kata lain kebenaran-kebenaran itu semakin hilang.
Tapehaugi hampir setiap hari berpikir, bagaimana caranya sehingga masyarakat bisa hidup aman, damai dan rukun berdasarkan ajaran-ajaran Kabo mana dan Tota mana. Pada suatu hari Tapehaugi memutuskan pergi mengunjungi rekannya Ikoko Nokuwo di daerah Isago[1]. Awal tahun 1930 Tapehaugi bersama istrinya Kesaimaga Gobay mulai berjalan menuju pantai selatan. Selama satu minggu mereka berjalan dari Modio bermalam di Mokobike, Boubaga, Dikitinai hingga di kampung Bidau. Dikampung Bidau ia bertemu Ikoko Nokuwo dan masyarakatnya bermarga Gabou-Kahame. Dari Bidau mereka menuju Wagikunu. Esoknya mereka menuju kampung Dowudi dan malam ketujuh mereka sampai di kampung Makaihawido. Di kampung itu Tapehaugi menetap lama dan membuat rumah.
Tak lama kemudian mereka pergi menjual hasil buminya ke Ugoubado (Pronggo) untuk ditukarkan dengan hasil bumi dari pantai. Sampai di Ugoubado mereka masuk dirumah kepala suku Kamoro. Pada malam hari Kepala Suku Kamoro menceritakan tentang orang-orang barat yang sedang mewartakan Injil di daerah Kokonao. Tapehaugi sangat tertarik dan ingin berjumpa dengan para misionaris tersebut. Namun Kepala Suku Kamoro itu tidak menceritakan dimana keberadaan para misionaris itu. Tapehaugi mengetahui maksud hati Kepala Suku dan berjanji setelah tiga bulan Tapehaugi dan rombongannya akan membawah hasil buruan dan makanan. Janji Tapehaugi diterima baik oleh Kepala Suku Kamoro.
Tiga bulan kemudian Tapehaugi bersama rombongannya membawah 40 ekor burung Cenderawasih(tune mepiha)  yang sudah dikeringkan sebelumnya, ditambah makanan dan tembakau. Orang Kamoro pun sudah mempersiapkan kulit bia, 40 buah kampak batu (maumi) dan hasil laut lain sesuai perjanjian. Setelah pertukaran barang selesai, Kepala Suku Kamoro berjanji akan membawah para misionaris untuk berkenalan denganMaihora (panggilan orang Kamoro kepada Tapehaugi). Dengan hati yang senang dan gembira Tapehaugi bersama rombongannya kembali ke Wagikunu.
Pada suatu hari sementara Tapehaugi sedang membuat kebun, tiba-tiba istrinya Kesaimaga memanggil:“Ke-ke..tobouga-gogo wake, akogeima kedeke  kamena keino owegaimi”. Artinya ‘’hai  orang Tobousa, jangan melamun, sahabat-sahabatmu sedang datang, mari jemput mereka”. Tapehaugi pun bergegas menjemput mereka. Sesampai dirumah ia berpapasan dengan orang-orang berkulit putih persis seperti anak yang baru lahir(detamagawa). Kepala suku Kamoro berkata kepada Auki: “Maihoga, inilah orang-orang yang mewartakan kabar gembira”. Maka mereka saling berkenalan satu sama lain. Orang-orang berkulit putih itu antara lain Pater Tillemans MSC dan dr Bijmler. Pada kesempatan itu tepat bulan April 1932[2]. Tapehaugi menceritakan, “dibelakang gunung sana, orang seperti saya banyak, saya minta supaya kabar Injil diwartakan kepada rakyat saya yang berada dibalik gunung sana”, ungkap Tapehaugi berharap. Pater Tillemans berjanji setelah tiga tahun dirinya akan datang menuju Modio – Mapia. Selanjutnya Tapehaugi bersama istrinya kembali ke Modio.
Dalam perjalanan pulang, Tapehaugi mendapat nama baru dari seorang Malaikat di kampung / gunung Mokobike (Mouhago). Nama yang diberikan adalah AUKI – artinya laki-laki yang hebat dalam nada keheranan. Sesampainya di Modio, Auki menceritakan perjalanannya ke Kokonao termasuk nama yang baru diberikan itu. Orang-orang yang turut mendengar cerita Auki  antara lain Minesaitawi Tatago, Metegaibi Kedeikoto, Dakeugi Makai dan teman sedawar lain yang masih hidup pada masa itu.[3]
Pada tanggal 21 Desember 1935, P. Tillemans yang mengikuti Bijmler Ekspedisi menuju Modio[4]. Setelah lima hari perjalanan, pada tanggal 26 Desember 1935 rombongan P. Tillemans dan Tuan Bijmler  tiba di Modio. Pada waktu itu Ikoko Nokuwo memakai topi yang dibuat dengan rotan. Mereka disambut dengan Tupi Wani(Kapauku Folkdance) dan dipotong dua ekor babi sebagai pengucapan syukur atas kehadiran dua orang barat tersebut.
Selanjutnya Auki memerintahkan kepada Minesaitawi Tatago dan Dakeugi Makai untuk memanggil seluruh pimpinan masyarakat (Tonawi) yang ada diseluruh pedalaman Paniai. Sepuluh hari kemudian, para Tonawi tersebut tiba dengan rombongannya dengan membawa babi untuk pesta perdamaian [tapa dei]. Mereka yang turut hadir pada waktu itu antara lain Zoalkiki Zonggonao dan Kigimozakigi Zonggonau dari Migani, Gobay Pouga Gobay dari Paniai, Itani Mote dan Timada Badi dari Tigi, Papa Goo dari Kamu, Tomaigai Degei dari Degeuwo, Pisasainawi Magai dari Piyakebo, Dekeigai Degei dari Putapa, Enagobi Gobai dari Pogiano, Tubasawi Tebay dari Toubay, Mote Pouga Mote dari Adauwo dan Dakeugi Makai dari Pisaise, dll.[5]
Pada tanggal 7 Januari 1936, Pater Tillemans memimpin Misa Kudus dan membuka Injil diatas batu didepan rumah Bapak Auki. Itulah misa pemberkatan pertama di kampung Modio. Setelah misa kudus, dilanjutkan dengan doa perdamaian (tapa dei) yang dipimpin oleh Auki. Dalam doa inti Auki meminta Minesaitawi dan Dakeugi untuk membunuh dua ekor babi yang telah   dipersiapkan (Sabakina dan Bunakina). Ketika membunuh bunakina (babi hitam)  Minesaitawi berkata:Aki mogaitaitage Mee (bagi yang akan berbuat zinah), aki oma nai tage Mee (bagi yang akan mencuri), aki pogo goutage Mee (bagi yang akan membunuh), aki Mee ewegaitage Mee (bagi yang akan menceritakan orang lain),aki pusa mana bokouto Mee (bagi yang akan menipu) kou ekinama dani kategaine. Artinya:saya samakan kamu yang akan melanggar ajaran Tota Mana dengan babi yang saya bunuh agar tidak terulang lagi.” Selanjutnya Dakehaugi membunuh babi putih yang sudah diikat di Pohon Otika. Setelah itu Dakehaugi memotong pohon Otika dan mengeluarkan darah merah pertanda persembahan diterima[6].
Setelah upacara perdamaian selesai, rombongan Pater Tillemans kembali ke Kokenau dan melaporkan perjalanan kepada Pimpinan Gereja di Langgur (Ambon) dan Pemerintah Hinda Belanda bahwa dipedalaman Paniai ada manusia. Laporan itu diketahui Assisten Residen Fakfak dan Bestuur Assisten di Kaimana dan meminta Pilot Letnan Dua Laut Ir. F. Jan Wissel untuk menelusuri daerah Pegunungan. Pada awal bulan Februari 1937 Pilot Wissel terbang dari Utara (Serui = Geelvink) ke arah Selatan (Babo) menggunakan pesawat Sikorsky milik perusahaanNederlands Nieuw Guinea Petroleum Maatschapij (NNGPM) dan menemukan tiga buah danau dan perkampungan disekitar danau itu. Sejak saat itu danau Paniai, danau Tage dan danau Tigi dikenal Wisselmerren (bahasa Belanda artinya danau-danau Wisel). Selanjutnya pada bulan April 1938 P. H. Tillemans MSC ikut Ekspedisi Van Eachoud menuju Enarotali untuk membuka pos-pos pelayanan sekaligus menemui Tonawi-Tonawi yang sudah dikenal jauh sebelumnya di Modio, 1936.
Berita adanya manusia di Pedalaman Paniai didengar pula oleh Pendeta  R. A. JAFFAR. Akhir tahun 1937 Pdt. R. A. Jaffar mengajukan permohonan dan meminta ijin kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk membuka penginjilan di daerah pedalaman Paniai dan permohon tersebut dikabulkan. Dari Makasar beliau berangkat menuju Bumi Cenderawasih untuk melihat secara langsung  keadaan penduduk disana. Selanjutnya Pdt. R. A. Jaffar mengutus Pdt. Walter Post dan Pdt. Russel Dabler untuk merintis daerah pedalaman Paniai. Sesampai di Uta mereka berdua dijemput Yineyaikawi Edowai dan menuju daerah Paniai melalui sungai Yawei. Begitu tiba mereka bermalam di rumah Itani Mote di Yaba (Waghete).
Tahun-tahun berikutnya berturut-turut didatangkan penginjil-penginjil muda seperti Sam Pattipeiloi dari Ambon, Poltak Saragih asal Tapanuli dan Paja asal Kalimantan Timur bersama 20 orang dari Kalimantan Timur meninggalkan Makasar pada 5 Maret 1939. Mereka tiba di bumi Cenderawasih pada 20 April 1939. Berikut tahun 1941 datang pula beberapa lulusan SAM pada route yang  sama yaitu Ch. D. Paksoal, P. Pattipeiloi, C. Akhiary (Ambon Sanger Talaut), Ajang Lajang, Salim dan Teringan asal Kalimantan Timur. Dari kalangan gereja Katolik datang pula beberapa guru-guru muda seperti  Andreas Matorbongs ditempatkan di Enarotali,  gr Meteray di Kugapa dan Petrus Letsoin di Yaba. 
Segera sesudah itu perang dunia kedua meletus dan seluruh pelayanan misi dan zending diberhentikan. Beberapa misionaris dan pemerintah Belanda diinternir oleh tentara Jepang. Salah satu surat yang dilayangkan berbunyi: “Als de kontreleurs en de Pastoors zich niet aan de Japanners overgeven, hebben nedaar voor reeds  twee  grote  kapmessen  gereedliggen,  een  voor de pastoor en een voor mij”. Artinya jika pemerintah dari Belanda dan Pater tidak menyerahkan diri kepada pemerintah Jepang, mereka akan dipenggal kepalanya. Orang-orang Jepang telah menyediakan dua buah pisau besar, satu untuk penggal kepala para pastor, dan satu untuk saya (de  Bruijn).
Mendengar informasi ini, para misionaris dan Pemeritah Belanda  segera disembunyikan oleh orang-orang pedalaman di beberapa tempat seperti Komandoga, Siriwo dan Pegaitakamai. Orang-orang yang disembunyikan di Pegaitakamai antara lain Pater Tillemans, dr Rubiono dan DR. J.V. de Bruijn. Di gunung ini  dokter Rubiono yang mengikuti kedua orang barat itu menemukan seorang bayi kecil (tuan tanah) dan disembunyikan dalam tas. Menurut orang Mapia hingga saat ini, dokter Rubiono adalah Ir Soekarno, Presiden Republik Indonesia pertama. Walaupun dalam dokumen-dokumen sejarah Suku Mee dan daerah sekitarnya tidak pernah disebut nama Soekarno, kecuali nama dr Rubiono dan Adang Rusdy, seorang operator Radio Belanda – dan  juga Ir Soekarno sebelum tahun 1945 belum pernah injak daerah pedalaman Irian.
Tak lama kemudian pada bulan Agustus dan September 1942 tentara Jepang masuk ke daerah Paniai melalui Uta ke Oraya terus ke Enarotali. Cengkeraman kekuasaan Jepang di Paniai menyebabkan HPB de Bruijn terpaksa mengungsi ke Australia. Dalam pengungsian ini, ikut serta 26 pemuda Ekagi dan Migani. Mereka adalah Markus Yeimo, Piter Kadepa, Bernadus Gobay, Petrus Gobay, Kornelis Madai, Obeth Takimai, Erenius Mote, Yoakim Mote, Dominggus Mote, Bernadus Mote, Markus Goo, Kosmos Ekee dan Animalo Adi. Dari Merauke ada beberapa yang masuk polisi seperti Manatadi Gobay, Kaimodi Yogi, Bintang Gobay, Paulus Madai dan Yoseph Yeimo. Sedangkan yang lain masuk Batalyon Papua yang dibentuk tentara Sekutu untuk memerangi sisa-sisa tentara Jepang. Sementara itu, de Bruijn membawah tiga pemuda Ekagi ke Australia, masing-masing Karel Gobay, Zakeus Pakage dan Ikoko Nokuwo. Sementara itu Pater H. Tillemans dan dr. Rubiono bersama beberapa guru lainnya, berangkat dari Mapia menuju Enarotali untuk menunggu pesawat menuju Merauke. Di Enarotali P Tillemans dan rombongannya disembunyikan di gunung Bobaigo. Di gunung ini, dr Rubiono menangkap burung  Garuda (Imu =penjaga gunung, menurut orang Mee).
Pada tanggal 24 Mei 1943 P Tillemans MSC dan rombongannya berangkat dengan pesawat terbang dari Enarotali ke Merauke. Dua hari setelah keberangkatan mereka, daerah Paniai dan sekitarnya diduduki oleh tentara Dai Nippon. Usai perang dunia kedua, misionaris dan zending kembali ke daerah Paniai dengan membawah tenaga-tenaga guru, suster, Pater untuk membangun daerah yang telah “dipagari Allah”. Dari Misi seperti Gerardus Ohoiwutun dan Bartholomeus Welerebun di Enarotali. 


A. USAHA TETAP UTUHNYA “PAGAR ALLAH”

Kedatangan misi dan zending telah membawa banyak perubahan-perubahan. Banyak pemuda-pemudi dididik berpola asrama, ada pula yang dibawah keluar untuk studi di luar daerah bahkan diluar negeri. Itu semua dilakukan agar pada suatu saat mereka dapat membangun daerahnya sendiri berlandaskan budaya dan ajarannya. Salah seorang putra Me yang benar-benar menyadari akan hal itu adalah Zakheus Pakage. Ia pada saat pendudukan Jepang di bawah pergi oleh Dr. J.V. de Bruijn ke Australia dan selanjutnya disekolahkan di Sekolah Tinggi Teologia Ujung Pandang. Sepulangnya Zakheus membuat sebuah Gerakan Kebudayaan yang dikenal dengan “EDAGE BAGE” atau orang-orang dalam pagar. 
Menurut DR. Jan Boellaars dalam MANUSIA IRIAN DULU, SEKARANG DAN MASA DEPAN, nama EDAGE BAGE menimbulkan pikiran, bahwa hanya didalam pagar orang bisa aman terhadap bencana dan tanpa susah payah dapat menikmati kesuburan bumi. Serentak juga bergema didalam nama itu kisah asal dari Alkitab tentang Taman Firdaus, sebuah kebun berpagar, yang didalamnya manusia tidak mengenal penderitaan dan kematian.
Namun ada sekelompok orang yang tidak memahami benar Gerakan ini menyebut kelompok ini adalah “Wege Bage” atau kelompok perusak. Inti pokok dari ajaran ini adalah bahwa kearifan-kearifan dan kebenaran-kebenaran akan Allah terdapat didalam alam, adat dan ajaran orang Mee perlu dijaga, dilestarikan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Alkitab dipandang sebagai penyempurna ajaran asli.


B. DAERAH MAPIA DILUPAKAN, AUKI MENJADI GURU AGAMA PERTAMA

 Lain di Mapia. Akibat ditutupnya beberapa ‘dimi’ (bukit) oleh leluhur Mapia, maka daerah Mapia dilupakan kurang lebih 20 tahun (1939-1952). Auki sebagai tokoh  Mapia berkali-kali meminta ditempatkan seorang Pater, namun belum pernah dijawab oleh Pater H Tillemans sebagai Pimpinan Vikariat Apostolik Paniai pada waktu itu. Sementara daerah Paniai dan Migani banyak didatangkan guru-guru dari Kei dan Bruder Suster dari Belanda.
Namun Auki tidak buta terhadap firman Tuhan. Auki dibantu rekan-rekannya antara lain Minesaitawi Tatago (kepala perang), Anaigaibi Tekege (penghubung masyarakat), dan Bogapa sebagai pendukung kekayaan Auki melaksanakan berbagai kegiatan untuk mewartakan Injil didaerah Mapia. Cara Auki dan kawan-kawannya mengajarkan agama sangat unik. Pada waktu itu Auki dan Minesaitawi pura-pura bertengkar dan “akawaina” (gerakan menggoyangkan kaki pertanda penyelesaian suatu masalah), dengan tujuan orang dapat berkumpul dimana kedua orang bertengkar.
Setelah orang semakin banyak, Auki sambil menunjukkan sebuah gambar TUHAN YESUS yang diberikan oleh Pater Tillemans mengatakan: “Kiko UgataMee sokaibo, okaina Mee, inii dani, dimihago, peka, ebe okaina ewaa. Iso koma kado koma to dege, ekaki Yesus. Hamake iniha peudo maidamake piha bokouda nihabokata.” (=Dia adalah Anak Allah, punya hidung, punya mata dan akal budi. Hanya rambut dan kulit dan berbeda. Ia mati di kayu salib karena dosa manusia)[7]. Karena itu AUKI disebut guru agama Kristen pertama didaerah Paniai.
Dalam keadaan demikian, dua orang pemuda dari Timepa yakni Otto Wakei dan Amasimesai Petege mengikuti orang tuanya ke Yaba (Wagethe). Di Yaba mereka nginap dirumah Itani Mote (Weakebo Mote). Disana mereka menyaksikan bagaimana para Pater menyekolahkan anak-anak dan perkembangan maju cepat. Akhirnya pada tahun 1948, Otto dan Amakasimesai kembali ke Mapia dan meminta kepada para tua-tua adat di seluruh Mapia untuk membuat upacara Deba Duwai, yang tujuannya adalah membuka semua dimi-dimi yang sudah ditutupi (dipagari) oleh Allah. Nyatanya, pada tahun 1949 Pater Tillemans mengunjungi daerah Mapia dan berjanji akan memberikan seorang Pater.


C. PEMBANGUNAN GEREJA PERTAMA DI MAPIA

Tak lama kemudian, tepatnya pada tanggal 22 Pebruari 1952, hadirlah seorang Pater muda bernama Engelbertus Smith (dikenal Henk Smith). Kedatangannya disambut dengan tupi wani yang diselingi Gaidai-Wainai ala Mapia (Kapauku Folkdance). Ia disambut seperti seorang Raja. Pada kesempatan itu pater Smith diberi gelar MAPISABI (raja Mapia).
Ketika Pater Smith di Mapia, ia tidak tinggal diam. Banyak kegiatan gerejani yang dilaksanakan, hal ini membuat umat Mapia mulai membangun dan menata kehidupan mereka. Selain kegiatan gerejani, pater juga berperan sebagai Tukang dan Mantri. Menjelang Natal tahun 1952, Smith memerintahkan untuk segera mempersiapkan WODA-EKINA (kuskus dan Babi) serta BAI PUGO (keladi dan batangnya). Pater Smith  sendiri  mempersiapkan dua ekor babi. Tepat pada tanggal 26 Desember 1952 (setelah malam Natal) terjadi pesta Natal yang paling Akbar diseluruh pelosok bumi Cenderawasih. Berikut kutipan kronologis peristiwa Natal yang dipimpin P. Smith dan didampingi langsung AUKI sebagaimana dimuat dalam IKTISAR KRONOLOGIS SEDJARAH MASUKNYA GEREJA KATOLIK DI IRIAN BARAT[8] :

“Tepat pada tanggal 25 Desember 1952 Natal dirayakan seperti biasa dimana-mana. Natal yang istimewa ialah di Modio, tempat tinggal Pater Smith. Pada hari itu pastor Paroki membeli dua ekor babi. Penduduk kampung sekitarnya, dan bahkan penduduk kampung dari jauh datang berbondong-bondong ke Modio. Kira-kira ada dua ribu  orang datang. Auki raja Modio, merasa bangga. Pada hari menjelang Natal orang-orang membawakan dua ekor babi. Rupa-rupanya mereka menjadikan pesta Natal sebagai hari pesta besar-besaran = Yuwo. Sehingga sebelum Natal, mereka telah datang berkumpul. Tiap malam  mereka  bernyanyi  dan  menari.  Pater  Smith  tidak pernah absen. Tiap malam ia ikut tupi wani  atau sering disebut “akamine uno” (malam salaman sambil memberikan hadiah). Hal mana menambah kegembiraan orang Kapauku. Puncak perayaan ialah tanggal 25 Desember 1952. Para guru membuat Altar, dipasang dibawah kolong langit. Seluruh umat berjongkok mengelilingi altar. Kepala-kepala kampung berteriak-teriak memberi instruksi kepada rakyatnya, bagaimana mereka harus berlutut dan sebagainya. Setelah agak tenang Pastor Paroki memberikan mereka pelajaran Agama  dalam bahasa Mee. Habis pelajaran agama misa dimulai. Para guru bersenjata lengkap  dengan panah dan busur berjalan ke kandang babi. Empat ekor babi dipanah mati, menyusul yang lain. Selama babi dimasak, sering-sering timbul sorak dan teriak (hu-waita). Pater Smith sambil mengisap cerutu besar, berkeliling diantara umatnya dan beramah tama dengan mereka. Sementara itu daging babi sudah dimasak. Sebelum mereka makan, Pastor Paroki membawakan doa Bapak kami dan salam Maria. Habis makan mereka mulai tari-tari lagi. Mereka bersumpah kepada para pastor  akan setia kepada Tuhan seumur hidup. Raja Modio, Auki, terus menerus berpidato. Hari Natal adalah hari besar baginya. Pada kesempatan ini ia mengenakan pakaian kebesaran baginya, artinya ia mengenakan Piyama Tua, yang dibelinya di Kokonao ditukar dengan segemgam tembakau  (Kapaki=rokok bhs.Mimika). Diatas kepala ia memakai topi jerami (migaba), suatu hadiah  dari bapak KPS. Dan untuk mempertunjukan bahwa ia termasuk golongan Katolik meskipun pada waktu itu ia belum dipermandikan, ia mengalunkan tasbeh panjang pada lehernya. Pada waktu malam perayaan dilanjutkan. Pater Smith tunjuk muka lagi. Seorang guru menyediakan kursi untuk Pater.  Pastor Paroki belum lama duduk, terus dikelilingi orang banyak. Dari belakang ada tangan memeluknya. Pater memalingkan kepala dan melihat seorang wanita tua, yang dengan tersenyum berkata “aki aniya naitai” artinya kamu bapaku.”

Demikian pada Natal pertama di Modio.  Tuhan telah melahiran anak 2000 lantaran Pater Smith. Pater Smith mengatakan saya sangat bangga dan terharu merayakan Natal dengan masyarakat Mapia. Tak lama kemudian masyarakat bersama Pater Smith membangun gereja bersama-sama. Dalam waktu yang tidak lama berdirilah  Gereja pertama dengan nama St Ambrosius Modio.
Selanjutnya pada tanggal 02 April 1959 Pater Smith mengunjungi ibunya yang sakit di Netherland sekaligus untuk cuti. Sebelum meninggal Pater Smith datang ke Modio untuk merayakan Pesta Perak bersama umat Mapia. Kali ini, ia disambut sangat meriah dan haru. Paterpun terharu melihat perkembangan Modio-Mapia yang begitu cepat. Dengan suara terputus-putus, Pater Smith dengan menggunaan bahasa khas Mapia mengatakan: “Ani Itonago ko, ana nomo nuta wegatemega nako enakepaibeu tena doune mega. Hamake anadouko,  inoko ena kida tipai, inoko enakai dimi kohoka, ani bokapa koda, UgataMee epa etitouta ko, AKI-ha ani dodo natogetako ekowapa kihoka nadouno etitouta,”  ungkap Pater sambil air mata berlinang.  Artinya “saya datang hari ini untuk melihat keladi dan petatas yang saya pernah tanam, namun saya melihat ada yang sudah masak dan ada yang hampir masak. Oleh karena itu setelah meninggal saya akan lapor kepada Tuhan atas pekerjaanku  ini.” Pater sebelum sampai di Negeri Belanda meninggal di Jakarta. Selamat Jalan “Sang MAPIHABI”.


D. JASA SEORANG AUKI

Auki adalah manusia pra Modern yang belum tahu apa itu Injil atau Alkitab apalagi perkembangan dunia luar. Tetapi dengan gigih berjuang menghadirkan kabar suka cita di daerah pedalaman melalui hubungan dagang yang sudah lama dijalin dengan suku Kamoro. Dalam sejarah perkembangan bangsa barat ke wilayah ekspansinya sering terjadi perang dengan bangsa pribumi. Namun pertemuan awal antara Auki dengan para misionaris terjadi dengan damai dan saling memandang satu sama lain sebagai ciptaan Tuhan. Oleh karena itu DR JV de Bruijnmenyebut  Auki adalah orang yang bijak dan berpengalaman, juga berprestasi dan berkemampuan. Auki juga sudah melihat laut, Maikaida dan mengadakan kontak dengan orang Mimika dengan tukar menukar rokok dengan garam, juga menguasai bahasa Mimika. (Auki is echter een bereisd man, waaraan hij zijn prestige ontleent. Hij heft de zee, maikaida, gezien. Hij ruilhandel drijft-tabak tegen zout de Mimikataal).[9]
Auki dibabtis menjadi orang Katolik pada tanggal 19-07-1958 bersama rekan-rekannya dari Mapia oleh Vikaris Apostik dan Uskup Tituler Mosynopolis Irian, Mgr. Dr. Staverman di Modio. Satu tahun kemudian 1959 Auki meninggal dalam usia muda. Beliau dimakamkan di Gokotikapau, yaitu sebuah gua yang sudah dipilih sebelumnya.
Pepatah mengatakan “Gajah meninggalkan gading, manusia meninggalkan nama”. Pepatah ini tidak berlaku bagi seorang Auki yang telah berjasa bagi orang pedalaman dan pegunungan bumi Cenderawasih. Karena jasanya menawarkan misionaris datang membuka mata hati pikiran orang gunung belum pernah dikenal luas. Sekarang menjadi tanggung siapa? Apakah orang Paniai yang telah muncul sebagai Auki-Auki kecil tinggal diam tanpa berterima kasih sedikitpun? Lima puluh tahun pesta emas berdirinya Gereja Modio – Mapia dan 70 Tahun masuknya Agama di daerah pedalaman Paniai adalah merupakan tonggak sejarah yang perlu dihayati dan direnungkan bersama-sama. Agar masyarakat Mapia khususnya dan orang Irian umumnya dapat membuka mata melihat kehidupan baru kedepan, untuk membangun, menata dan mengangkat sisa-sisa firdaus yang semakin hilang.
Sebelum Auki meninggal hanya ada satu pesan yang ditinggalkan kepada anak-cucunya, kepada orang Modio dan Mapia khususnya dan orang Irian umumnya.

AUKI bukan milik Tekege paa
AUKI bukan milik Tatago paa
AUKI bukan milik orang Modio
AUKI bukan milik orang Mapia
AUKI bukan milik orang Pedalaman
AUKI bukan milik orang Melanesia

Tetapi …………….

AUKI adalah  milik setiap insan manusia
Yang mencintai dan mencari firdaus
AUKI adalah simbol firdaus yang hilang
Yang mencari dan menemukan Kabo-Mana
Untuk kita

Auki pergi menawarkan dan menerima agama Kristen di Mimika, bukan berarti mau meniadakan atau mau menghilangkan ajaran agama asli, melainkan untuk menyempurnakan, memperbaharui dengan ajaran Kristen, sebagaimana kata Yesus kepada para muridnya: “Aku datang bukan untuk meniadakan atau menghilangkan hukum Taurat atau kitab para Nabi. Aku datang bukan untuk menghilangkan, melainkan untuk menggenapinya”(Matius 5:17). Tetapi Auki juga mengalami hal yang sama seperti yang pernah dialami Yesus, bahwa “Seorang nabi dihormati dimana-mana, kecuali di tempat asalnya sendiri dan di rumahnya” (Matius 13:57, Lukas 6:27-36, Markus 6:1-6, Lukas 4:16-30). Semoga nama besar Auki dikenang didalam setiap insan yang mencintai kedamaian.

Kamis, 18 Mei 2017

PACIFIC NATIONS BACK WEST PAPUAN SELF-DETERMINATION.

PACIFIC NATIONS BACK WEST PAPUAN SELF-DETERMINATION.

A coalition of Pacific Island nations has delivered an emphatic call to the African, Caribbean and Pacific group of states to back West Papuan self-determination.

Vanuatu, Solomon Islands, Tonga, Tuvalu, Nauru, Palau and the Marshall Islands delivered a joint statement at the ACP's Council of Ministers in Brussels.

It condemned Indonesian human rights violations in Papua, including alleged crimes against humanity and called for an eventual resolution that includes support of the right of West Papuan political self-determination.

Delivering the statement, a Vanuatu government envoy Johnny Koanapo told the Council that "apartheid-like colonial rule" was "slowly but surely" going to wipe out West Papuans as a people "while… the world stood by."

African and Caribbean countries in the the 79-member group of mainly former colonised territories have voiced strong support for West Papuan self-determination at subcommittee and ambassadorial level during the past two months

Mr Koanapo said that the day's discussion "now sets up the great likelihood of a resolution on the full range of West Papua issues at the next ACP ministerial council meeting", scheduled for November.

It's the latest in a string of high-level representations by the International Coalition for Papua since last year that have taken the issue of West Papua to a new level of diplomatic activity.

The seven Pacific nations, who are in coalition with Pacific regional church bodies and civil society networks, raised concern about West Papuan human rights at the UN Human Rights Council in Geneva two months ago, and also at the UN General Assembly last September.

Indonesia's government has rejected criticism at the UN level, accusing the Pacific countries of interference and supporting Papuan separatism.

Jakarta says human rights abuses in Papua are largely historical, and that the incorporation of the western half of new Guinea into Indonesia is final.

However, support from other governments for resolution of ongoing human rights infringements in Papua is gaining momentum.

Criticism of the flawed plebiscite by which the former Dutch New Guinea was incorporated into the young state of Indonesia in the 1960s has effected renewed calls for a genuine self-determination process.

At yesterday's Brussels meeting Papua New Guinea's ambassador, whose country shares a 760km-long border with Indonesia at West Papua, was the only delegate to speak against ACP moving forward on a resolution on the matter.

Joshua Kalinoe said that "no one is denying that the human rights violations are going on" but suggested that a fact-finding mission to West Papua might be necessary for the ACP to get an accurate picture of the situation.

Guinea-Bissau's Ambassador Alfredo Lopez Cabral spoke next, comparing the plight of West Papua to East Timor, which Indonesia occupied for 24 years before a mounting legacy of conflict gave way to an independence referendum in 1999.

https://www.radionz.co.nz/international/pacific-news/330203/pacific-nations-back-west-papuan-self-determination

 Posted by : MUTOPAI WEST PAPUA


Selasa, 09 Mei 2017

Perjanjian New York

Peta daerah dengan  West New Guinea  disorot. Di sebelah barat,  Maluku  di Indonesia; Ke timur,  Papua Nugini ; Ke selatan, Australia
Sebuah  Perjanjian ditandatangani oleh Belanda  dan  Indonesia  mengenai administrasi dari wilayah  West New Guinea. Bagian pertama dari kesepakatan tersebut mengusulkan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa menganggap administrasi wilayah ini, dan bagian kedua mengusulkan serangkaian kondisi sosial yang akan diberikan jika Perserikatan Bangsa-Bangsa menjalankan sebuah kebijaksanaan yang diusulkan dalam pasal 12 dari kesepakatan tersebut untuk mengizinkan pendudukan dan Administrasi wilayah. Negosiasi selama pertemuan yang diselenggarakan oleh Amerika Serikat, kesepakatan tersebut ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 1962 di  Markas Besar PBB  di  New York City .
Kesepakatan tersebut ditambahkan ke dalam agenda Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 1962 dan memicu resolusi Majelis Umum 1752 (XVII) yang  memberi wewenang kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menduduki dan mengadministrasikan West New Guinea.Meskipun kesepakatan tidak dapat meniadakan kewajiban yang didefinisikan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,[1]  dan kesepakatan tersebut menegaskan bahwa hal itu untuk kepentingan rakyat wilayah tersebut, beberapa orang percaya bahwa kesepakatan tersebut telah mengorbankan rakyat wilayah Untuk kepentingan kekuatan asing. Ringkasan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat [2] dari tahun 1962 menegaskan bahwa "kesepakatan tersebut hampir merupakan kemenangan total bagi Indonesia dan kekalahan bagi Belanda" , bahwa Amerika Serikat  "

Latar BelakangEdit

"... jika Jawa, Sumatra, dan lain-lain, harus diputus dari Belanda dalam waktu dekat - yang dilarang oleh Tuhan! - sehingga tidak perlu menjadi kasus New Guinea. New Guinea bukan milik Hindia Belanda Baik secara geografis maupun geologis .... Baik orang Jawa, orang Aceh, maupun penduduk Palembang memiliki hak atas negara 'kosong' ini. Belanda adalah orang pertama yang menguasainya, dan berhak menggunakannya untuk surplus penduduk. Dari Belanda ... "
 -Colonisasi advokat PE Winkler, 1936 [3]
Asal-usul sengketa  Belanda Nugini  sepakat berasal di pra Perang Dunia II  perlu menemukan tanah air untuk  Eurasia  orang Indo . [3] [4]  Menurut CLM Penders, "Tidak ada" alasan lain, termasuk mengembangkan pulau ini, [4]  "yang maju oleh Belanda untuk kelanjutan pemerintahan mereka di Papua Barat" secara rasional melayani kepentingan nasional Belanda Cukup untuk memegang wilayah yang akan menyebabkannya kehilangan begitu banyak bisnis dan niat baik internasional. [3] Dimulai pada 1920-an, sejumlah besar orang Indo yang menganggur di  Jawa  membujuk pemerintah Belanda untuk mendirikan koloni di utara New Guinea Barat, Yang akhirnya gagal memberi koloni kemakmuran yang mereka harapkan. Namun, New Guinea dianggap sebagai " tanah yang dijanjikan" dalam imajinasi kelompok seperti  Vaderlandsche Club  dan  Partai Nazi Belanda  yang melobi untuk sebuah "  provinsi Belanda putih di  Hindia ". [3]  Meskipun provinsi ini tidak pernah tercapai, Indos mempertahankan posisi  istimewa dan membenci  di Indonesia, sehingga mereka menjadi pendukung terkuat untuk Papua yang otonom. [3]  Dari tahun 1945 selama  Revolusi Nasional Indonesia , Belanda mencoba untuk bernegosiasi untuk sebuah tempat khusus untuk New Guinea dalam berbagai konferensi dengan nasionalis Indonesia, dengan Persetujuan Linggarjati  antara lain memesan New Guinea sebagai tempat permukiman bagi Indos. [4]
Namun, selama  Konferensi Meja Bundar Belanda-Indonesia  tahun 1949, Indonesia dan Belanda tidak dapat menyetujui status Nugini, dengan Belanda berpendapat bahwa mereka harus tetap mempertahankan Papua Barat untuk  penentuan nasib  sendiri penduduk asli, sekali Penduduk tersebut telah menjadi cukup "matang". [4]  Kesepakatan yang dihasilkan tidak jelas mengenai status akhir New Guinea, meskipun  Partai Buruh Belanda  mengalahkan amandemen yang secara eksplisit akan menyingkirkan New Guinea dari kemerdekaan Indonesia. [3]  Dari tahun 1951, pemerintah Indonesia menafsirkan hasil Konferensi Meja Bundar karena memberinya kedaulatan atas seluruh bekas  Hindia Belanda , termasuk New Guinea. [4]  Selama negosiasi dengan orang-orang Indonesia, Belanda mempertahankannya dapat menyerahkan kedaulatan atas Belanda New Guinea, karena partai-partai konservatif di  parlemen Belanda , yang sangat dihina oleh kemerdekaan Indonesia dan ingin mempertahankan sebuah kubu kolonial di daerah tersebut, tidak akan memberikan suara Untuk meratifikasi kesepakatan tersebut. [3]  Ketika pemerintah Indonesia menarik diri dari Serikat  Belanda-Indonesia  karena frustrasi dengan lambannya pembicaraan mengenai New Guinea, Belanda merasa dirinya lega dari kewajiban untuk melanjutkan negosiasi mengenai masalah ini. [4]  Indonesia, didukung oleh semua negara Afrika dan Asia  kecuali nasionalis China , Mencoba untuk lulus sebuah resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang  mendesak Belanda untuk bernegosiasi dengan negara tersebut mengenai status West New Guinea, namun resolusi tersebut diblok oleh oposisi dari semua  negara Barat  kecuali Yunani . [5]
Indonesia mendapatkan lebih banyak dukungan internasional untuk negosiasi dengan Belanda selama  KTT Jenewa  dan  Konferensi Asia Afrika  pada tahun 1955, setelah surat kabar dan gereja Belanda, yang sebelumnya dengan gigih mendukung mempertahankan New Guinea, menganjurkan untuk membawa New Guinea "ke dalam lingkungan yang lebih tenang" dari  Perserikatan Bangsa-Bangsa . [5] Namun demikian, pada tahun 1956, Belanda  mengubah konstitusi  untuk memasukkan West New Guinea sebagai negara penyusun  Kerajaan Belanda , walaupun pemerintah menolak amandemen yang menentukan penentuan nasib sendiri sebagai tujuan kedaulatan Belanda atas wilayah. [5]  Di dalam West New Guinea, Belanda meloloskan partai politik, namun melarang partai pro-Indonesia sebagai subversif . [6] Sebagai tanggapan atas pengerasan Belanda, posisi Indonesia di New Guinea secara bertahap beralih untuk mengatakan bahwa rakyat New Guinea telah menggunakan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri dengan  Proklamasi Kemerdekaan Indonesia  pada tahun 1945. [4] Setelah yang ketiga dan  Pemilu terakhir di  Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1957, di mana sebuah resolusi mendesak dialog Belanda-Indonesia, dengan dukungan mayoritas negara yang mewakili mayoritas rakyat dunia, diblokir oleh  kekuatan kolonial , Menteri Luar Negeri Indonesia Subandrio mengatakan  bahwa pihaknya tidak akan lagi berusaha menyelesaikan masalah "Irian Barat" (West New Guinea) di Perserikatan Bangsa-Bangsa. [5]  Pemogokan  massal  dan serangan ilegal terjadi di Indonesia terhadap bisnis Belanda pada tahun 1958, yang diselenggarakan oleh kelompok  Komunis , pemuda dan veteran yang menyebabkan warga negara Belanda melarikan diri dari negara tersebut. [5] Hubungan diplomatik diputus dengan Belanda pada tahun 1960. [4] Kelompok pemuda dan veteran yang menyebabkan warga negara Belanda melarikan diri dari negara tersebut. [5] Hubungan diplomatik diputus dengan Belanda pada tahun 1960. [4] Kelompok pemuda dan veteran yang menyebabkan warga negara Belanda melarikan diri dari negara tersebut. [5]Hubungan diplomatik diputus dengan Belanda pada tahun 1960. [4]

NegosiasiEdit

Joseph Luns Menteri Luar Negeri  Belanda   dari tahun 1956 sampai 1971, di bawah 7 kabinet berturut-turut.
Selama tahun 1950an, Amerika Serikat memiliki hubungan yang  buruk dengan Indonesia , karena dukungan rahasianya terhadap pemberontak antipemerintah di Sumatera dan keengganannya untuk mendukung klaim Indonesia terhadap West New Guinea. [2] Indonesia juga tidak senang dengan "permusuhan pers Amerika yang hampir bulat" dalam kampanye internasionalnya untuk West New Guinea. [5] Dan pada awal 1959 seorang konselor menulis sebuah memo atas nama Duta Besar AS yang menyarankan sebuah rencana untuk "perwalian khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa atas wilayah tersebut selama beberapa tahun, pada akhirnya kedaulatan waktu akan diserahkan ke Indonesia ". [7]
Pada saat peresmian Presiden  John F. Kennedy  pada tahun 1961,  Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia , yang didukung oleh Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih , mengusulkan  sebuah rencana tujuh poin "untuk mencegah Indonesia berada di bawah kendali komunis dan untuk memenangkannya ke Barat ", termasuk reuni Indonesia yang menjanjikan dengan West New Guinea. [2] Biro  Pemerintah  Urusan Eropa ,  Central Intelligence Agency  dan  Menteri Luar Negeri AS Dean Rusk menentang  rencana tersebut, karena permusuhan terhadap Presiden Indonesia  Sukarno , yang telah  berkolaborasi dengan Jepang , [3]  dan dukungan untuk Belanda,   sekutu NATO . [2] [8] Posisi Belanda  berpendapat bahwa orang asli Papua  berbeda secara ras dari Indonesia, bahwa penggabungan ke Indonesia akan menjadi "substitusi kolonialisme coklat untuk kolonialisme kulit putih", dan bahwa orang-orang "terbelakang" orang Papua tidak siap untuk kemerdekaan; Sementara posisi Indonesia berpendapat bahwa Indonesia telah beraneka ragam secara etnik, bahwa Indonesia ingin menyatukan kembali wilayah-wilayah yang dipisahkan oleh kolonialisme, dan bahwa argumen Belanda tentang demokrasi adalah "tipuan" untuk menciptakan "di ambang pintu negara boneka Indonesia ... di bawah pengawasan Belanda ". [8] Sekutu NATO . [2] [8] Posisi Belanda berpendapat bahwa orang asli Papua berbeda secara ras dari Indonesia, bahwa penggabungan ke Indonesia akan menjadi "substitusi kolonialisme coklat untuk kolonialisme kulit putih", dan bahwa orang-orang "terbelakang" orang Papua tidak siap untuk kemerdekaan; Sementara posisi Indonesia berpendapat bahwa Indonesia telah beraneka ragam secara etnik, bahwa Indonesia ingin menyatukan kembali wilayah-wilayah yang dipisahkan oleh kolonialisme, dan bahwa argumen Belanda tentang demokrasi adalah "tipuan" untuk menciptakan "di ambang pintu negara boneka Indonesia ... di bawah pengawasan Belanda ". [8] Sekutu NATO . [2] [8]Posisi Belanda berpendapat bahwa orang asli Papua berbeda secara ras dari Indonesia, bahwa penggabungan ke Indonesia akan menjadi "substitusi kolonialisme coklat untuk kolonialisme kulit putih", dan bahwa orang-orang "terbelakang" orang Papua tidak siap untuk kemerdekaan; Sementara posisi Indonesia berpendapat bahwa Indonesia telah beraneka ragam secara etnik, bahwa Indonesia ingin menyatukan kembali wilayah-wilayah yang dipisahkan oleh kolonialisme, dan bahwa argumen Belanda tentang demokrasi adalah "tipuan" untuk menciptakan "di ambang pintu negara boneka Indonesia ... di bawah pengawasan Belanda ". [8] [2] [8]Posisi Belanda berpendapat bahwa orang asli Papua berbeda secara ras dari Indonesia, bahwa penggabungan ke Indonesia akan menjadi "substitusi kolonialisme coklat untuk kolonialisme kulit putih", dan bahwa orang-orang "terbelakang" orang Papua tidak siap untuk kemerdekaan; Sementara posisi Indonesia berpendapat bahwa Indonesia telah beraneka ragam secara etnik, bahwa Indonesia ingin menyatukan kembali wilayah-wilayah yang dipisahkan oleh kolonialisme, dan bahwa argumen Belanda tentang demokrasi adalah "tipuan" untuk menciptakan "di ambang pintu negara boneka Indonesia ... di bawah pengawasan Belanda ". [8] [2] [8]Posisi Belanda berpendapat bahwa orang asli  Papua berbeda  secara ras dari Indonesia, bahwa penggabungan ke Indonesia akan menjadi "substitusi kolonialisme coklat untuk kolonialisme kulit putih", dan bahwa orang-orang "terbelakang" orang Papua tidak siap untuk kemerdekaan; Sementara posisi Indonesia berpendapat bahwa Indonesia telah beraneka ragam secara etnik, bahwa Indonesia ingin menyatukan kembali wilayah-wilayah yang dipisahkan oleh kolonialisme, dan bahwa argumen Belanda tentang demokrasi adalah "tipuan" untuk menciptakan "di ambang pintu negara boneka Indonesia ... di bawah pengawasan  Belanda ". [8] Bahwa penggabungan ke Indonesia akan menjadi "substitusi kolonialisme coklat untuk kolonialisme putih", dan bahwa orang-orang "terbelakang" orang Papua tidak siap untuk kemerdekaan; Sementara posisi Indonesia berpendapat bahwa Indonesia telah beraneka ragam secara etnik, bahwa Indonesia ingin menyatukan kembali wilayah-wilayah yang dipisahkan oleh kolonialisme, dan bahwa argumen Belanda tentang demokrasi adalah "tipuan" untuk menciptakan "di ambang pintu negara boneka Indonesia ... di bawah pengawasan Belanda ". [8] Bahwa penggabungan ke Indonesia akan menjadi "substitusi kolonialisme coklat untuk kolonialisme putih", dan bahwa orang-orang "terbelakang" orang Papua tidak siap untuk kemerdekaan; Sementara posisi Indonesia berpendapat bahwa Indonesia telah beraneka ragam secara etnik, bahwa Indonesia ingin menyatukan kembali wilayah-wilayah yang dipisahkan oleh kolonialisme, dan bahwa argumen Belanda tentang demokrasi adalah "tipuan" untuk menciptakan "di ambang pintu negara boneka Indonesia ... di bawah pengawasan Belanda ". [8] Bahwa Indonesia ingin menyatukan kembali wilayah-wilayah yang dipisahkan oleh kolonialisme, dan bahwa argumen Belanda tentang demokrasi adalah "sebuah trik" untuk menciptakan "di ambang pintu negara boneka Indonesia ... di bawah pengawasan Belanda". [8] Bahwa Indonesia ingin menyatukan kembali wilayah-wilayah yang dipisahkan oleh kolonialisme, dan bahwa argumen Belanda tentang demokrasi adalah "sebuah trik" untuk menciptakan "di ambang pintu negara boneka Indonesia ... di bawah pengawasan Belanda". [8]
Pada bulan Maret 1961, Indonesia telah mengindikasikan kesepakatan untuk perwalian Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan syarat tidak disebut sebagai perwalian. [9]  Baik pendukung Indonesia maupun pendukung Belanda di pemerintahan menempatkan posisi mereka sebagai antikapolonialisme yang  menguntungkan . Meskipun gagasan kemerdekaan Papua menarik perhatian penasihat senior di Pemerintah AS, hanya sedikit yang menganggapnya realistis. Pejabat AS juga prihatin dengan pendapat dunia yang mendukung Indonesia; Tampilan diplomatik solidaritas  Dunia Ketiga  meningkat, dan pada bulan Januari 1962, Mesir menutup  Terusan Suez  ke kapal-kapal Belanda sebagai sebuah demonstrasi melawan kebijakan New Guinea Belanda. Pada pertengahan Januari,  Robert Kennedy , saudara Presiden Kennedy, Pergi ke Jakarta dan mengumumkan bahwa Amerika Serikat, "sebagai bekas koloni, berkomitmen terhadap anti-kolonialisme". [8]
Presiden Kennedy kemudian bertemu dengan  Menteri Luar Negeri  Belanda Joseph Luns  dan Sukarno, dengan kedua menyetujui Perwalian Perserikatan Bangsa-Bangsa namun tidak sependapat dengan rinciannya. Ketika Amerika Serikat mensponsori sebuah resolusi "kompromi" di Perserikatan Bangsa-Bangsa yang Indonesia lawan, hubungan dengan Indonesia memburuk. Pada bulan Desember,   Penasehat Keamanan Nasional  McGeorge Bundy dengan tegas menyarankan Kennedy untuk meraih posisi yang lebih pro-Indonesia, supaya jangan sampai " blok Soviet ... menarik Indonesia lebih dekat dengannya". [2]  Perundingan rahasia tingkat menteri rahasia Amerika dimulai pada bulan Maret 1962, tanpa  prasyarat , namun Sukarno skeptis terhadap niat Amerika. [2] Pembicaraan diadakan di  Huntland  real di  Middleburg, Virginia . [10]  Garis besar rencana oleh diplomat Amerika  Ellsworth Bunker  pada tahun 1962 mengusulkan agar Belanda mengalihkan kontrol atas New Guinea ke administrator PBB yang netral, yang secara bertahap akan digantikan oleh administrator Indonesia, dan kemudian sepenuhnya ke Indonesia, yang kemudian diminta Untuk mengatur sebuah referendum "untuk memberi kebebasan kepada orang Papua" dengan  sekretaris jenderal  PBB dan personil Perserikatan Bangsa-Bangsa lainnya. [4]Belanda menanggapi bahwa proposalnya adalah "pengkhianatan mengejutkan oleh Amerika Serikat", [2]  awalnya menginginkan referendum berlangsung di bawah pemerintahan PBB, walaupun setelah Amerika Serikat mengancam untuk membuat perundingan publik, ia menyetujui penambahan "hak untuk menentukan nasib sendiri" ke dalam kesepakatan tersebut. [2] Menteri Luar Negeri Subandrio , yang menganggap pengawasan dan pengorganisasian referendum PBB sebagai "penghinaan untuk Indonesia", hanya menyetujui satu set pedoman parement-down untuk plebisit [4]  ketika Amerika Serikat mengancam untuk "mengganti sisi dan Mendukung Belanda ". [2]  Versi final dari kesepakatan tersebut memberikan parameter berikut untuk "tindakan pilihan bebas": Meskipun setelah Amerika Serikat mengancam untuk membuat perundingan publik, ia menyetujui penambahan "hak untuk menentukan nasib sendiri" ke dalam kesepakatan tersebut. [2] Menteri Luar Negeri Subandrio , yang menganggap pengawasan dan pengorganisasian referendum PBB sebagai "penghinaan untuk Indonesia", hanya menyetujui satu set pedoman parement-down untuk plebisit [4] ketika Amerika Serikat mengancam untuk "mengganti sisi dan Mendukung Belanda ". [2] Versi final dari kesepakatan tersebut memberikan parameter berikut untuk "tindakan pilihan bebas": Meskipun setelah Amerika Serikat mengancam untuk membuat perundingan publik, ia menyetujui penambahan "hak untuk menentukan nasib sendiri" ke dalam kesepakatan tersebut. [2] Menteri Luar Negeri Subandrio , yang menganggap pengawasan dan pengorganisasian referendum PBB sebagai "penghinaan untuk Indonesia", hanya menyetujui satu set pedoman parement-down untuk plebisit [4] ketika Amerika Serikat mengancam untuk "mengganti sisi dan Mendukung Belanda ". [2] Versi final dari kesepakatan tersebut memberikan parameter berikut untuk "tindakan pilihan bebas": [2]Menteri Luar Negeri Subandrio , yang menganggap pengawasan dan pengorganisasian referendum PBB sebagai "penghinaan untuk Indonesia", hanya menyetujui satu set pedoman parement-down untuk plebisit [4] ketika Amerika Serikat mengancam untuk "mengganti sisi dan Mendukung Belanda ". [2] Versi final dari kesepakatan tersebut memberikan parameter berikut untuk "tindakan pilihan bebas": [2]Menteri Luar Negeri  Subandrio , yang menganggap pengawasan dan pengorganisasian referendum PBB sebagai "penghinaan untuk Indonesia", hanya menyetujui satu set pedoman parement-down untuk plebisit [4] ketika Amerika Serikat mengancam untuk "mengganti sisi dan Mendukung Belanda ". [2] Versi final dari kesepakatan tersebut memberikan parameter berikut untuk "tindakan pilihan bebas":
  1. Musyawarah  (dewan konsultatif) akan diinstruksikan pada prosedur untuk menilai kemauan penduduk
  2. Tanggal sebenarnya dari tindakan tersebut akan selesai sebelum tahun 1969
  3. Pertanyaan dalam tindakan tersebut akan memungkinkan penduduk untuk memutuskan apakah akan tinggal atau terpisah dari Indonesia
  4. Semua orang dewasa akan diizinkan untuk berpartisipasi dalam tindakan pilihan bebas
Pada tanggal 15 Agustus 1962, perwakilan dari Indonesia dan Belanda menandatangani "Persetujuan antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda Mengenai West New Guinea (Irian Barat)" di  Markas Besar PBB  di  New York City . [6]

ImplementasiEdit

Artikel utama:  Tindakan Pilihan Bebas
Perjanjian New York memenuhi impian "Republik Indonesia dari  Sabang  sampai  Merauke ". [6]Bendera Indonesia  menandai permukiman di wilayah  Aceh  (kiri) dan New Guinea Barat, keduanya disorot.
Beberapa anggota  Dewan  Legislatif legislatif kuasi yang didirikan di bawah Belanda merasa kecewa karena Belanda telah menandatangani kesepakatan tersebut tanpa berkonsultasi dengan Dewan. Meskipun demikian, Dewan memutuskan untuk mendukung kesepakatan tersebut, dan untuk bekerja sama dengan pemerintah Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Indonesia dalam menjaga kedamaian dan ketertiban. Sebuah minoritas kecil anggota Dewan, termasuk  Nicolaas Jouwe , menolak untuk mendukung Perjanjian dan pergi ke  pengasingan  di Belanda. [6]  The  periode pemerintahan PBB  berakhir pada 1 Mei 1963, yang diusulkan oleh Perjanjian New York. [11]
Fernando Ortiz-Sanz , perwakilan Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa di New Guinea, mengamati dan menyetujui proses  musyawarah  selama bulan Maret dan April 1969 untuk  Tindakan Terbaik Pilihan Bebas , walaupun merekomendasikan agar dewan diperbesar agar lebih sesuai dengan persyaratan orang dewasa Penyediaan Perjanjian New York. [4]  Dalam laporannya, dia mengatakan bahwa sebagian besar petisi yang dia terima dari orang-orang Guinea Baru adalah pro-Indonesia, walaupun penilaian pendapat lokal ini bertentangan dengan laporan dari kedutaan asing. [11]  Antara bulan Juli dan Agustus 1969, Undang-Undang Pilihan Bebas banyak menyimpulkan untuk tinggal bersama Indonesia. [4]  Guru  Besar Hukum Internasional  HF Van Panhuys mengaitkan hasil yang miring dengan kurangnya demiliterisasi  wilayah, proses  musyawarah  ("sampai keputusan yang bulat tercapai ... tidak konduktif terhadap atmosfir di mana orang diam-diam dan karena itu tanpa rasa takut mengekspresikan preferensi mereka "), Dan tidak adanya pilihan untuk bergabung dengan Belanda. [4]
Di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebuah kelompok negara Afrika, yang dipimpin oleh  Ghana , mencela Tindakan Pilihan Bebas "imperialisme Muslim" dan "rasisme Asia". Negara-negara lain seperti India membantah tuduhan tersebut dan merayakan persatuan Indonesia. Pada bulan Oktober 1969, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan sebuah resolusi 84 sampai 0 dengan 30 abstain [6] yang mencatat "dengan penghargaan pemenuhan ... Perjanjian 1962" dan berterima kasih kepada Indonesia atas "upayanya untuk mempromosikan ekonomi dan sosial Pengembangan Irian Barat ". [11]  Negara-negara Afrika yang dissenting mengajukan sebuah amandemen untuk mengarahkan referendum kedua pada tahun 1975, namun gagal karena oposisi Indonesia dan Amerika. [12]  Pemerintah Belanda menerima hasilnya, Dan mengatakan bahwa proses tersebut sesuai dengan Perjanjian New York. [4] Merefleksikan pemungutan suara,  pensiunan sekretaris jenderal  Chakravarthy Narasimhan mengatakan pada tahun 2001, "Suasana di Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah untuk menyingkirkan masalah ini secepat mungkin", [12]  dan "[M] y heart Bukan pendarahan [untuk orang Papua] ". [11]  Amerika Serikat secara parsial mencapai tujuannya "untuk memenangkan [Indonesia] ke Barat", walaupun konfrontasi Indonesia-Malaysia  dan ekonomi Indonesia yang sedang berjuang mendinginkan  hubungan. [2] Pensiunan di bawah sekretaris jenderal Chakravarthy Narasimhan mengatakan pada tahun 2001, "Suasana di Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah untuk menyingkirkan masalah ini secepat mungkin", [12] dan "[M] y hati tidak berdarah [untuk orang Papua ] ". [11] Amerika Serikat secara parsial mencapai tujuannya "untuk memenangkan [Indonesia] ke Barat", walaupun konfrontasi Indonesia-Malaysia dan ekonomi Indonesia yang sedang berjuang mendinginkan hubungan. [2] Pensiunan di bawah sekretaris jenderal Chakravarthy Narasimhan mengatakan pada tahun 2001, "Suasana di Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah untuk menyingkirkan masalah ini secepat mungkin", [12] dan "[M] y hati tidak berdarah [untuk orang Papua ] ". [11] Amerika Serikat secara parsial mencapai tujuannya "untuk memenangkan [Indonesia] ke Barat", walaupun konfrontasi Indonesia-Malaysia dan ekonomi Indonesia yang sedang berjuang mendinginkan hubungan. [2] [11] Amerika Serikat secara parsial mencapai tujuannya "untuk memenangkan [Indonesia] ke Barat", walaupun konfrontasi Indonesia-Malaysia dan ekonomi Indonesia yang sedang berjuang mendinginkan hubungan. [2] [11] Amerika Serikat secara parsial mencapai tujuannya "untuk memenangkan [Indonesia] ke Barat", walaupun  konfrontasi Indonesia-Malaysia dan ekonomi Indonesia yang sedang berjuang  mendinginkan hubungan. [2]
Bagi Indonesia, implementasi New York Agreement menyelesaikan   tujuan nasionalis Indonesia awal dari apa yang disebut Sukarno sebagai "Republik Indonesia dari  Sabang  sampai  Merauke ", dan menunjukkan keberhasilan perlawanan terhadap partisi atas dasar etnis atau agama. [6]  Di sisi lain, pelaksanaan New York Agreement adalah salah satu keluhan yang paling dikutip dari Gerakan Bebas Papua militan   (OPM), dan tahun-tahun segera setelah pelaksanaannya adalah yang paling keras dalam konflik gerilya yang baru muncul  dengan kemerdekaan. Pendukung , saat para pejuang OPM menculik dan menyerang polisi, militer, dan transmigran  target sementara  militer Indonesia  memberondong seluruh desa di respon. [12] Meskipun pendukung kemerdekaan untuk New Guinea Barat menganggap Undang-Undang Pilihan Bebas sebagai tidak sah dan tidak patuh dengan Perjanjian New York, Perserikatan Bangsa-Bangsa secara resmi mempertahankan bahwa status West New Guinea sebagai bagian dari Indonesia adalah "final". [12]  Pada tahun 2002, sebuah majelis nasionalis orang Papua yang dipimpin oleh aktivis kemerdekaan Theys Eluay  menyatakan bahwa Persetujuan New York "tidak sah dan tidak dapat diterima secara moral, karena Perwakilan dari [Nugini Barat] tidak terlibat di dalamnya". [12] [12] Meskipun pendukung kemerdekaan untuk New Guinea Barat menganggap Undang-Undang Pilihan Bebas sebagai tidak sah dan tidak patuh dengan Perjanjian New York, Perserikatan Bangsa-Bangsa secara resmi mempertahankan bahwa status West New Guinea sebagai bagian dari Indonesia adalah "final". [12] Pada tahun 2002, sebuah majelis nasionalis orang Papua yang dipimpin oleh aktivis kemerdekaan Theys Eluay menyatakan bahwa Persetujuan New York "tidak sah dan tidak dapat diterima secara moral, karena Perwakilan dari [Nugini Barat] tidak terlibat di dalamnya". [12] [12] Meskipun pendukung kemerdekaan untuk New Guinea Barat menganggap Undang-Undang Pilihan Bebas sebagai tidak sah dan tidak patuh dengan Perjanjian New York, Perserikatan Bangsa-Bangsa secara resmi mempertahankan bahwa status West New Guinea sebagai bagian dari Indonesia adalah "final". [12] Pada tahun 2002, majelis nasionalis orang Papua yang dipimpin oleh aktivis kemerdekaan  Theys Eluay menyatakan bahwa Persetujuan New York "tidak sah dan tidak dapat diterima secara moral, karena Perwakilan dari [Nugini Barat] tidak terlibat di dalamnya". [12] Sebuah majelis nasionalis orang Papua yang dipimpin oleh aktivis kemerdekaan Theys Eluay menyatakan bahwa Persetujuan New York "tidak sah dan tidak dapat diterima secara moral, karena Perwakilan dari [Nugini Barat] tidak terlibat di dalamnya". [12] Sebuah majelis nasionalis orang Papua yang dipimpin oleh aktivis kemerdekaan Theys Eluay menyatakan bahwa Persetujuan New York "tidak sah dan tidak dapat diterima secara moral, karena Perwakilan dari [Nugini Barat] tidak terlibat di dalamnya".